Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SALAH satu warisan terburuk pemerintah Presiden Joko Widodo kelak adalah Lampiran XIV Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup. Aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja ini mengeluarkan abu sisa pembakaran batu bara dari kategori limbah beracun dan berbahaya alias B3.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah Jokowi sedang mempertaruhkan masa depan generasi mendatang. Penelitian Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) pada 2017 di Indramayu, Suralaya, dan Cirebon, Jawa Barat, menunjukkan bahwa sisa pembakaran batu bara di pembangkit listrik tenaga uap mengandung setidaknya 16 bahan kimia. Bahan-bahan itu merusak organ otak hingga buku-buku jari kaki orang yang menghirupnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Earth Justice, organisasi lingkungan di Amerika Serikat, bahkan merilis peringatan bahwa tak ada ambang aman bagi timbel yang terkandung dalam abu batu bara. Timbel, terutama bagi anak-anak, akan merusak sistem saraf, jantung, dan organ kardiovaskular. Dalam jangka lama, abu yang terhirup oleh anak-anak bahkan bisa menurunkan tingkat inteligensia.
Studi para peneliti University College London dalam jurnal Environmental Research edisi April 2021 menyebutkan, 10,2 juta orang meninggal per tahun akibat polusi udara. Sebagian besar berusia di bawah lima tahun. Polusi udara terbanyak diakibatkan pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap. Keputusan pemerintah mengeluarkannya dari daftar limbah berbahaya seolah-olah mengabaikan data ilmiah itu.
Sulit menyingkirkan dugaan bahwa pemerintah memenuhi kepentingan pengusaha batu bara dan pembangkit listrik. Aktivitas mengolah limbah berbahaya memerlukan ongkos besar. Pengusaha wajib mengolah atau membayar pihak ketiga untuk melakukannya. Keputusan pemerintah mengeluarkan abu batu bara dari kategori berbahaya membebaskan pengusaha dari kewajiban itu.
Pembangkit listrik tenaga uap, yang jumlahnya 64 persen dari jumlah pembangkit keseluruhan, tak perlu menyaring abu agar tak mengotori udara. Pabrik semen tak harus menyiapkan gudang untuk menyimpan limbah sebelum diolah. Abu batu bara akan dihirup secara massal oleh warga negara di sekitar pembangkit.
Pengusaha dan pemerintah beralasan abu batu bara dikeluarkan dari kategori B3 agar mudah diolah. Dari konsumsi batu bara 109 juta ton setahun, menurut data Kamar Dagang dan Industri, menghasilkan 15 juta ton abu dan hanya 1 persen yang dimanfaatkan menjadi batako atau bahan baku semen. Mereka berhitung, perusahaan bahkan bisa memperoleh keuntungan Rp 400 juta sehari dengan mengolah abu batu bara. Anehnya, pendapat serupa disokong Komisi Pemberantasan Korupsi, yang mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi.
Alasan yang seolah-olah masuk akal itu sebenarnya tipuan. Jika tujuannya agar abu diolah, pemerintah seharusnya mewajibkan industri memanfaatkannya. Dengan tak lagi masuk kategori B3, abu batu bara tak wajib diolah oleh industri. Apalagi industri pengolahan pun belum siap. PT PLN baru mengolah 1,08 juta ton dari produksi FABA 2,9 juta ton setahun.
Sebelum terlambat, pemerintah mesti menganulir aturan itu. Kembalikan abu batu bara ke kategori limbah berbahaya. Setelah itu, pemerintah perlu mewajibkan industri mengolahnya. Insentif buat pengusaha yang mematuhi kewajiban itu bisa saja diberikan. Risiko kesehatan banyak penduduk Indonesia terlalu tinggi dibanding klaim investasi yang bisa datang setelah keluarnya abu batu bara dari kategori limbah berbahaya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo