Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Gen

Ketika saya belajar genetika dari seorang profesor yang berambut tipis dan tak pernah tertawa, saya berharap ia akan membuka celah kepada kami, para mahasiswa psikologi, untuk bisa mengintip apakah nenek moyang kami punya rambut tipis tapi suka tertawa-dan demikian juga anak-cucu kami.

10 Desember 2017 | 05.00 WIB

Ilustrasi genetika. Cardiff.ac.uk
material-symbols:fullscreenPerbesar
Ilustrasi genetika. Cardiff.ac.uk

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika saya belajar genetika dari seorang profesor yang berambut tipis dan tak pernah tertawa, saya berharap ia akan membuka celah kepada kami, para mahasiswa psikologi, untuk bisa mengintip apakah nenek moyang kami punya rambut tipis tapi suka tertawa-dan demikian juga anak-cucu kami.
Di akhir kuliah kami tentu tak tahu apa-apa, kecuali tentang asal-usul warna batang kacang yang dibawa profesor kami dari Bogor. Atau sedikit tentang pengertian "recessive" dan "dominant" yang disebut Gregor Mendel dalam ciri-ciri keturunan. Waktu itu kata "DNA" hanya terdengar samar-samar bersama nama Watson dan Crick, juga kata "double helix" dan "genome".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Saya bersyukur kami tak beroleh jawaban-bersama tak berlanjutnya mata kuliah genetika. Saya bersyukur karena sadar genetika tak bisa menjawab semua hal, ketika kemudian saya membaca tentang "gerakan eugenik".
Kata "eugenik" pertama kali dipakai pada 1883, tahun ketika Francis Galton menerbitkan bukunya, Hereditary Genius. Menurut Galton, untuk memperbaiki masyarakat manusia, kita harus memanfaatkan keunggulan benih orang-orang hebat dalam sejarah-dan memandulkan yang "lemah", meletakkan mereka di biara, jauh dari pergaulan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600


Galton bukan ilmuwan dadakan. Ia jenius matematika dari University College London, orang yang memberi basis ilmiah pada analisis sidik jari, penemu pelbagai teknik statistik-bahkan pencipta peta cuaca pertama untuk surat kabar. Sepupu Charles Darwin ini mengagumi penulis The Origin of Species, buku dahsyat yang terbit di tahun 1859, yang meyakinkan bahwa makhluk berevolusi melalui seleksi alam. Sejak itu Galton berpikir, mungkinkah manusia diperbaiki mutunya dengan pembibitan selektif. Eugenik terkenal dengan niat demikian.
Pengaruh Galton meluas. Churchill di Inggris mengikuti ceramahnya. Theodore Roosevelt, yang kemudian jadi Presiden Amerika Serikat (1901-1909), pernah mengatakan, "memurnikan" modal (stock) manusia Amerika akan baik bagi peradaban manusia.


Kebijakan demografi mengikuti asumsi ini. 1924: diterapkan undang-undang imigrasi, yang membatasi jumlah pendatang dari Eropa Selatan dan Asia ke AS. Mereka dianggap mengandung gen bermutu rendah yang akan membibitkan generasi yang dungu dan jelek. 1940-an: Hitler dan Nazi-nya memaksakan pandangan bahwa manusia keturunan "Arya" (rambut blonda, kulit putih, hidung mancung...) secara genetik ulung. Manusia keturunan Yahudi, "negro", Slavia, dan semua yang dikategorikan sebagai "bukan-Arya" harus disingkirkan.
Gerakan eugenik adalah rasisme yang berlagak ilmiah-tapi dengan dasar keilmuan yang guyah. DNA dan genetika tak sepenuhnya bisa menjelaskan apa yang membuat manusia sama dan apa yang membuat berbeda.


Adam Rutherford, yang menulis dengan asyik (dan amat informatif) A Brief History of Everyone Who Ever Lived-ia pakar genetika yang terkemuka dan mungkin paling jenaka-menunjukkan: secara genetik, beda di antara dua orang hitam sangat mungkin lebih besar ketimbang beda antara seorang hitam dan seorang kulit putih. Seandainya penduduk dunia ini habis dan tinggal satu kelompok manusia yang dianggap satu "ras", misalnya Cina, pada mereka akan tetap ditemukan 85 persen variasi genetik yang ada dalam diri umat manusia yang beraneka ragam.


Di tahun 1840-an, Galton melawat ke Turki, Mesir, dan Namibia. Sebagaimana ditunjukkan Rutherford, perjalanan ini tak mengubah dasar pandangannya-malah memperkukuh "theori"-nya. Beberapa tahun kemudian ia menulis dalam The Times bahwa "rata-rata orang negro hanya punya sedikit kecerdasan, sedikit sikap mandiri, dan kurang bisa mengendalikan diri". Maka mereka perlu dibantu; sekian ratus tahun sebelum RRT menebar utang dan mengukuhkan diri di Afrika, Galton sudah menganjurkan: orang negro sebaiknya dijajah orang Cina. Meskipun sebelumnya Galton menyebut Chinamen sebagai ras yang "tak orisinal" dan "culas".
Selalu ada kecenderungan kita menghimpun data manusia dalam kelompok-kelompok-meskipun tak jelas sebenarnya adakah dasar yang tetap yang dipakai membentuk klasifikasi. Rutherford menunjukkan betapa gampang meleset kecenderungan ini.


Begitu banyak faktor, begitu panjang sejarah, sejak 3.400 tahun yang lalu-ketika asal-usul penduduk bumi masih sama-yang membentuk manusia. Kini ada berapa golongan "ras" di dunia? Tak bisa dijawab-sebab apa yang disebut "ras" tak jelas.
Dorongan menggolong-golongkan sejumlah besar data-dorongan kategorisasi-memang wajar, kata Rutherford. Tapi, "dengan sangat baik hidup meruntuhkan ikhtiar kita yang mulia untuk membuat kategori dari kehidupan dan makhluk yang hidup".


Mereka yang hidup tak akan pernah bisa pas masuk kotak.
Sementara itu genetika berkembang terus, bahkan selama profesor kami memberi kuliah yang membosankan. Kita makin sadar bahwa realitas-kacang dan guru besar-adalah proses. Tiap kali kita sampai pada titik, pada rumus, kita sebenarnya terburu-buru.

Goenawan Mohama

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus