Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Harta Pejabat: Kok Cuma Segini

29 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOLEHKAH seorang pejabat mempunyai harta banyak? Pertanyaan ini menjadi topik pembicaraan yang cukup populer belakangan ini. Pemicunya, tak lain tak bukan, adalah pengumuman kekayaan para petinggi negeri oleh Komisi Pengawas Kekayaan Penyelenggara Negara, pekan lalu. Sebuah bagian dari program pencegahan dan pemberantasan korupsi yang patut mendapat dukungan masyarakat. Sebab, kendati bukan senjata sakti mandraguna yang akan memusnahkan penyelewengan di kalangan pejabat dalam waktu cepat, tapi ini jelas sebuah langkah awal yang penting dari perjalanan panjang ke arah itu.

Mengapa penting? Karena program ini, bila dilakukan dengan benar, tak hanya akan menjadi penangkal korupsi yang baik, melainkan juga melindungi pejabat yang kebetulan kaya secara halal—misal karena orang tua atau mertuanya kaya raya—dari serangan fitnah lawan mereka. Selain itu, masyarakat akan semakin menghargai para pejabat yang hidup sederhana, bahkan mungkin pas-pasan, tapi tetap bekerja keras demi kepentingan bangsa. Bahkan, besar kemungkinan publikasi kemelaratan para pejabat publik itu akan menerbitkan gelombang opini orang ramai untuk menuntut pemerintah memberi imbalan yang lebih masuk akal bagi mereka.

Tidak masuk akalnya gaji resmi pegawai negeri sebenarnya sudah menjadi pengetahuan umum. Tapi fakta ini tak menerbitkan simpati rakyat untuk menaikannya karena mereka sangat curiga bahwa pendapatan tidak resmi yang dibawa pulang para karyawan pemerintah itu cukup tinggi, bahkan sebagian sangat berlebihan. Walaupun pendapatan di atas imbalan bulanan itu tak otomatis berarti haram—karena banyak juga yang berasal dari honor resmi proyek pemerintah—tapi untuk yang hidup mewah boleh dipastikan mendapatkannya dari kegiatan penyalahgunaan wewenang.

Kewajiban melaporkan kekayaan para penyelenggara negara—sekali lagi bila dilakukan dengan benar—akan segera memunculkan deretan nama mereka yang banyak harta, oleh karena itu layak untuk dicermati lebih lanjut. Tentu bukan untuk secara otomatis menuding mereka korup, melainkan untuk mencari tahu halal atau haramnya cara mereka meraih harta itu.

Harus diakui, upaya melacak kepemilikan seseorang tidaklah mudah, terutama bila dilakukan pihak lain. Selain memerlukan tenaga, kemampuan dan biaya yang besar, kegiatan ini akan menabrak banyak rambu hukum seperti Undang-Undang Perbankan. Itu sebabnya untuk para pejabat tinggi, yang wewenangnya memiliki harga tinggi di pasar remang-remang, sepatutnya diberlakukan ketentuan pembuktian terbalik. Artinya si pemilik harta yang harus mempunyai bukti kehalalan kekayaannya itu.

Ketentuan pembuktian terbalik ini pun tidak akan efektif bila sistem pelaporan kekayaan tidak dilakukan secara periodik, misal setahun sekali atau setiap periode masa jabatan. Juga hasilnya harus dibuka kepada masyarakat luas—atau minimal lembaga publik yang independen, terpercaya dan masa kepengurusannya dibatasi—agar orang ramai dapat ikut mengawasi. Ditambah lagi sanksi resmi terhadap mereka yang memberi laporan palsu atau tidak lengkap harus cukup keras—sepatutnya hukuman kurungan dan denda yang tinggi selain pemecatan—dan dijalankan dengan konsisten, tanpa pandang bulu.

Bila ketiga hal ini—sistem pelaporan kekayaan periodik, prinsip pembuktian terbalik dan sanksi keras bagi pelanggarnya—dijalankan dengan konsekuen dalam iklim yang terbuka, maka dapat diperkirakan bahwa budaya korupsi di negeri ini akan mulai terkikis habis. Mungkin secara pelan, tapi hasilnya pasti.

Pengikisan itu tentu harus dibatasi pada perilaku korupsi dan bukan pada sumber daya manusianya. Untuk itu, pelaksanaan kebijakan anti-korupsi ini harus diiringi juga dengan penormalan sistem penggajian pegawai negeri hingga kebutuhan minimalnya terpenuhi. Jika tidak, maka hanya mereka yang kaya dan punya semangat pengabdian tinggi kepada negara saja yang akan bekerja di sektor pemerintahan. Karena jumlah orang kaya di Indonesia tidak terlalu banyak, dan mayoritas dari mereka punya kesibukan lain di luar kegiatan pemerintah, maka penormalan upah para pegawai negeri menjadi hal yang wajib dilakukan jika negeri ini ingin diselamatkan.

Penormalan gaji ini tak harus selalu berupa rupiah, sehingga tidak terlalu membebani anggaran negara. Pemberian fasilitas seperti perumahan dan transportasi juga dapat dipertimbangkan di saat pemerintah sedang kesulitan menjual aset para konglomerat yang tak mampu—atau tak mau—membayar utangnya kepada pemerintah. Yang penting nilai fasilitas ini disetarakan dalam rupiah melalui mekanisme yang tertib dan terbuka. Bahkan tak ada salahnya belajar dari pengalaman Singapura yang menggunakan dana pensiunnya membangun apartemen sederhana untuk memberi stimulasi pada saat ekonominya sedang terpuruk.

Berkumpulnya perumahan para pegawai negeri juga akan membantu sistem pengawasan pemerintah. Sebab bila ada yang kekayaannya melesat jauh di depan yang lain pasti akan terdeteksi. Dengan demikian, sistem nilai hidup sederhana akan tumbuh berkembang menggantikan iklim sesat saat ini yang mengagung-agungkan kemewahan di kalangan para abdi negara.

Mereka yang tujuannya hidupnya memang ingin menjadi kaya raya—pilihan yang sah dan harus kita hormati seperti pilihan halal lainnya—tidak akan tertarik lagi menjadi pegawai sipil atau militer. Biarkan mereka berkembang di sektor swasta sehingga pemasukan pemerintah dari sektor pajak dapat meningkat. Bukankah ini berarti kemampuan pemerintah untuk menyejahterakan para pegawainya secara halal juga akan semakin baik?

Dalam kerangka pemikiran seperti inilah upaya pelaporan kekayaan penyelenggara negara harus didukung. Pasti akan banyak kekurangan di saat awal pelaksanaanya, dan karena itu kita semua justru harus membantu memperbaikinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus