Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Giosué

Roberto Benigni membuat film La Vita e Bella ("Hidup itu Indah"). Hidup itu indah meski dalam kamp konsentrasi.

2 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI kota Arezzo yang kecil, Giosué tak tahu apa-apa tentang kebencian yang besar. Umurnya baru empat tahun. Ayahnya, seorang pemilik sebuah toko buku sederhana, sangat menyayanginya; ibunya sangat merawatnya. Pada suatu hari di tahun 1939 itu anak itu melihat sebuah tulisan di toko kue kota itu: "Anjing dan Yahudi Dilarang Masuk". Ia bertanya kepada ayahnya kenapa begitu. Si ayah menjawab tentu saja dengan berbohong bahwa tiap orang dapat membuat aturan apa saja yang dimauinya. Misalnya, kata sang ayah, ada toko yang memasang tanda larangan masuk bagi "Kuda dan orang Spanyol". Toko mereka sendiri bisa saja bikin aturan melarang masuk, misalnya, "Laba-laba dan orang Visigoth".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Giosué percaya. Tetapi sampai sejauh mana ketidakadilan dan kekejaman, sebagai kenyataan hidup, harus ditutup dari mata seorang anak? Sejauh mana cinta mengizinkan kita berdusta, dan bohong bisa bersifat protektif? Film La Vita e Bella ("Hidup itu Indah") memberi jawaban yang ekstrem: sampai sejauh jauhnya. Bahkan di ambang liang kubur orang banyak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Guido, sang ayah, seorang keturunan Yahudi. Seluruh keluarganya, juga Giosué kecil, akhirnya ditangkap. Penguasa Fasis Italia yang bekerja sama dengan Nazi Jerman mengangkut mereka ke kamp konsentrasi. Ibunya, Dora, seorang Kristen, tidak masuk dalam daftar yang harus dibasmi. Perempuan ini toh memutuskan untuk ikut meskipun sebenarnya agak sia-sia: sejak di kereta api yang mengangkut orang-orang Yahudi itu ia terpisah dari suami dan anaknya. Ribuan orang berimpitan. Tapi sejak awal sampai akhir, Guido memutuskan untuk tidak memberi tahu Giosué bahwa mereka sedang berada di ambang pembantaian. 

Guido dan Giosué kecil dimasukkan ke sebuah bedeng bersama sekitar 30 orang tahanan lain. Si bapak sangat cepat menemukan akal. Ketika datang seorang opsir Nazi yang dengan paras ganas memberi pengumuman, dalam bahasa Jerman, tentang aturan hidup dalam kamp, Guido menawarkan diri sebagai interpreter. Ia pun menerjemahkan, ke dalam bahasa Italia, keras-keras, sesuatu yang tak ada dalam pengumuman resmi: bahwa yang sedang dilangsungkan di kamp itu adalah sebuah pertandingan. Bahwa tiap orang harus mengumpulkan nilai sebanyak-banyaknya. Bahwa nilai itu akan hilang karena tiga alasan: "Pertama: bila si peserta menangis. Kedua: bila si peserta ingin ketemu ibunya. Ketiga: bila si peserta lapar dan minta kue-kue".

Opsir Jerman itu tidak tahu bahwa Guido tidak menerjemahkan satu kata pun dari mulutnya. Tapi yang penting Giosué tidak menangis. Ia percaya kepada ayahnya bahwa di akhir pertandingan itu si pemenang akan mendapatkan sebuah tank, dan ia sangat mengharapkan itu. Maka di tempat tidur ia hanya berbisik-bisik menanyakan di mana mamanya dan mengeluhkan rasa laparnya. Ia melihat ayahnya dan orang-orang di kamp itu hidup dalam kerja paksa yang mengerikan; ia tahu bahwa kakeknya yang tua dan sebab itu dibunuh di kamar gas sudah tak pernah kelihatan lagi. Tapi Giosué kecil terlindung dari kenyataan yang sebenarnya.

Ia diproteksi, dan ia selamat, sampai akhirnya kamp itu dibebaskan pasukan Amerika. Guido, si ayah, ditembak mati di malam terakhir. Tetapi Giosué tak tahu. Yang ia tahu hanya bahwa beberapa tank datang, dan oleh prajurit pendatang yang ramah itu ia diizinkan naik. Yang buas, yang penuh kebencian, berlangsung, tetapi Giosué tetap tak luka tubuh dan luka jiwa.

Kita pun lega dan senang. Bahkan selama menonton kita bisa tertawa terkekeh-kekeh. Roberto Benigni (ia menyutradarai dan juga memainkan Guido) memang sedang mencoba sebuah film komedi yang orisinal: mencari yang lucu di latar kekuasaan yang menghancurkan manusia. Ia berhasil, meskipun karyanya bukan sesuatu yang luar biasa. Benigni tidak seperti Chaplin atau Keaton. Kedua komedian ini, sebagai badut dengan gerak tubuh, menjadi lucu karena tetap tampak santai dalam keadaan yang jumpalitan. Benigni tidak santai. Ia jumpalitan.

Tapi La Vita e Bella mau tak mau menggugah. Mungkin karena kita hidup di akhir abad ke-20 dengan sejumlah pertanyaan yang tetap merundung sebelum dan sesudah kita meninggalkan gedung bioskop: di dunia yang mempunyai jutaan Giosué, benarkah hidup, juga keindahan dan kekejamannya, pada akhirnya adalah persoalan bagaimana ia diterjemahkan kepada kita? Benarkah teks yang diterjemahkan itu, kalaupun ada, memang sesuatu yang harus diikuti? Jangan-jangan "kenyataan-sebagaimana-adanya" tak bisa kita dapat. Jangan-jangan hidup yang "indah" atau "kejam" itu hanya masalah tafsir dan negosiasi. Proses dan hasilnya terjadi berkat kekuasaan dan kekuatan yang berlaku dan saling bertemu.

Guido bisa menghadirkan di dalam mata anaknya sebuah hidup yang seru, dan anaknya berbahagia. Tapi bukankah kita tetap mengatakan bahwa Guido tahu dan kita tahu ia berbohong: kamp konsentrasi itu bukanlah tempat di mana la vita e bella? Menyadari bahwa Guido telah berbohong berarti menyadari ada yang benar. Beberapa ribu kilometer dari tempat kita membaca filsafat Foucault atau Derrida, membahas tentang das Ding an sich yang tak ada, kita memang menemukan Sambas atau Ruwanda, Kosovo atau Aceh. Realitas mengeluarkan darah dari jangat yang kesakitan, kenyataan adalah payudara yang dipotong bayonet dan nadi leher yang ditebas.

Tapi bukannya tanpa persoalan. Di akhir abad ke-20, realitas bertimbunan dengan realitas yang lain, yang dibawakan oleh media, terkadang lebih tajam di penglihatan. Di depan layar film dan televisi kita tahu pembasmian itu terjadi. Kita tahu ada yang benar di sana, tapi tak putus-putusnya kita pun bertanya seberapa jauh ia benar dan apakah artinya bagi kita. Kita melihat kamp konsentrasi dalam La Vita e Bella dan kita tertawa, meskipun Guido semestinya takut dan kesakitan. Kita melihat kepala yang dipancung di Sambas di layar televisi dan kita bingung: kita tak akan ketawa tapi haruskah kita mengetahui detail itu, horor itu? 

Terkadang kita ingin ada seorang Guido yang sebaiknya mengelabui kita. Tapi benar perlukah kita akan sebuah dusta yang bisa membuat kita tak putus harap?

___

Catatan Pinggir ini pernah terbit di edisi 5 April 1999

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad

Penyair, esais, pelukis. Catatan Pinggir telah terhimpun dalam 14 jilid. Buku terbarunya, antara lain, Albert Camus: Tubuh dan Sejarah, Eco dan Iman, Estetika Hitam, Dari Sinai sampai Alghazali.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus