Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN Kepolisian Daerah Riau menghentikan penyidikan lima belas perusahaan yang diduga terlibat kasus kebakaran lahan amat mengherankan. Polisi semestinya mematuhi perintah Presiden Joko Widodo yang menyerukan penindakan tegas terhadap pihak yang bertanggung jawab atas kebakaran hutan dan lahan pada tahun lalu.
Polisi awalnya bertindak cepat dengan menetapkan 15 perusahaan dan puluhan orang sebagai tersangka. Pada saat bersamaan, penyidik pegawai negeri sipil di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga mengusut enam perusahaan yang terindikasi membakar hutan. Hasilnya sungguh berbeda. Dua dari enam kasus yang ditangani penyidik pegawai negeri sipil ini sudah dilimpahkan ke pengadilan. Tapi kasus 15 perusahaan yang disidik polisi malah dihentikan.
Penghentian itu terkesan dilakukan secara diam-diam. Polisi sudah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan pada akhir 2015, tapi hal itu baru diungkap belakangan ini, setelah urusan asap akibat kebakaran sudah menguap. Alasan penerbitan SP3 tersebut adalah tak adanya bukti perusahaan sengaja membakar lahan. Menurut polisi, kebakaran terjadi di lahan sengketa atau lahan yang dikuasai penduduk.
Argumen itu tak masuk akal karena sejak awal polisi menyatakan akan menggunakan semua undang-undang untuk mengusut kebakaran lahan. Setidaknya ada empat undang-undang yang dipakai, yakni Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kalau terpaku pada KUHP, polisi akan sulit menjerat perusahaan. Soalnya, harus ada unsur kesengajaan untuk membakar. KUHP lebih cocok digunakan untuk pelaku langsung. Untuk menjaring korporasi, seharusnya polisi memanfaatkan secara maksimal Undang-Undang Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Perkebunan. Dua undang-undang ini menekankan pentingnya tanggung jawab perusahaan dalam mencegah dan mengatasi kebakaran.
Prinsip strict liability atau pertanggungjawaban mutlak itulah yang seharusnya dipakai polisi untuk menjaring korporasi. Undang-Undang Kehutanan, misalnya, menyatakan pemegang hak atau izin wajib melindungi hutan, termasuk dengan mencegah kebakaran. Ukurannya, antara lain, apakah perusahaan menyiapkan petugas dan peralatan yang memadai untuk menjinakkan api. Jika jumlah personel dan peralatan tak sepadan dengan luas lahan, perusahaan bisa dianggap lalai.
Alasan bahwa kebakaran terjadi di lahan yang dikuasai penduduk perlu pula diteliti secara mendalam. Apa benar lahan itu terlepas sama sekali dengan perusahaan dan apakah perusahaan tak mengambil manfaat atas lahan itu setelah kebakaran berlalu.
Lihatlah hasil penelitian pada 2014 oleh Tim Gabungan Nasional Audit Kepatuhan, yang dibentuk Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan. Tim ini menemukan unsur utama penyebab kebakaran dalam kurun lima tahun, yakni kelalaian perusahaan dan pemerintah daerah. Ada pula kelemahan teknis dan peralatan sehingga perusahaan dan pemerintah daerah tidak siap mengantisipasi kebakaran.
Kepolisian RI perlu mengaudit penanganan kasus 15 perusahaan yang disetop itu. Jangan sampai Kepolisian dianggap tidak serius melaksanakan perintah Presiden. Pemerintah juga bisa menggugat secara perdata 15 perusahaan itu. Tanpa langkah hukum yang tegas, kebakaran lahan yang mencemari lingkungan, bahkan asapnya menebar sampai ke negeri tetangga, akan terus berulang setiap tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo