Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENATA transportasi di Jakarta sama sulitnya dengan mengurai benang kusut. Pertumbuhan kendaraan bermotor 10 persen, hampir dua kali lipat pertambahan panjang jalan. Kota penyangga seperti Depok, Bogor, Tangerang, Bekasi sama kondisinya. Di pagi hari, dua juta komuter menyerbu Jakarta untuk bekerja. Sore harinya, mereka berarak pulang.
Macet, macet, dan macet tak terelakkan. Makin hari terasa makin berat. Tahun 2014 diperkirakan lalu-lintas Jakarta macet total. Masyarakat Transportasi Indonesia bahkan meramalkan kejadian itu bisa lebih cepat jika Pemerintah DKI Jakarta tidak melakukan apa-apa. Sekarang saja, jika hujan turun agak lama, jalan-jalan di Jakarta sudah seperti terkunci rapat.
Berbagai proyek transportasi sudah dirancang. Basisnya bermacam-macam. Study on Integrated Transportation Master Plan 2000-2004 mengkaji sistem transportasi Jabodetabek. Sedangkan Studi Pola Transportasi Makro 2003 merancang transportasi Jakarta. Di sana ada usulan penggunaan berbagai moda transportasi massal yang murah, seperti subway, monorel, busway, dan angkutan sungai.
Masalahnya, rencana bagus belum tentu mulus di lapangan. Proyek monorel dan subway terkatung-katung karena dana seret. Praktis hanya busway yang jalan karena biayanya paling murah. Kini tiga dari tujuh koridor yang direncanakan sudah beroperasi. Dari proyek busway ada berita bagus. Riset The Japan International Cooperation Agency (JICA) menunjukkan 14 persen pengguna busway sebelumnya merupakan pengguna mobil pribadi.
Di tengah keberhasilan kecil itu, sayangnya muncul rencana pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota. Selain bertentangan dengan Tata Ruang Jakarta 2010, rencana itu tidak sesuai dengan Pola Transportasi Makro Jakarta 2003. Tol dalam kota hanya akan menjadi pintu masuk mobil ke dalam kota, sedangkan yang perlu dilakukan adalah ”menghalau” mobil ke luar pusat kota untuk mengurangi macet.
Jika Pusat dan DKI Jakarta konsisten membangun transportasi massal, rencana enam ruas tol dalam kota itu pagi-pagi harus ditolak. Selain akan membuat Ibu Kota lebih macet, tol hanya akan menyenangkan pengguna mobil pribadi. Padahal, jika perlu, pemerintah harus ”memagari” Jakarta agar tidak dimasuki mobil pribadi. London dan Singapura, misalnya, mengutip pajak tinggi untuk mobil yang masuk jalur utama.
Yang juga penting, pembangunan sistem transportasi di Jakarta harus dilakukan secara terpadu dengan mengajak kota-kota penyangga di sekeliling Jakarta. Hampir mustahil bagi Jakarta menyelesaikan masalah tersebut sendirian karena sebagian problem justru datang dari kota-kota penyangga itu.
Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso sebetulnya pernah melontarkan ide untuk mengembangkan konsep megapolitan, tapi ditentang di mana-mana. Lepas dari apakah betul Sutiyoso berambisi menjadi Gubernur Megapolitan Jakarta, konsep megapolitan perlu dikaji. Jakarta jelas tak bisa berdiri sendiri untuk menangani masalah sampah, banjir, dan penyediaan air bersih. Kalau penduduk kian bertambah, problem lingkungan bertambah-tambah, Ibu Kota bisa kolaps.
Jakarta mungkin bisa belajar dari beberapa kota di Asia yang sudah lebih dulu mengembangkan konsep metropolitan. Di Bangkok ada Bangkok Metropolitan Administration. Di Manila ada The Metropolitan Manila Development Authority. Keputusan untuk melaksanakan segala sesuatu di dua kota itu berada di satu tangan. Sebelum Jakarta menjadi benang kusut, pemerintah Pusat perlu turun tangan mencari jalan keluar. n
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo