Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Joker dalam Kriminologi Lombroso

Di Indonesia, film Joker (Todd Philips, 2019) sempat mengundang polemik karena terdapat adegan anak membunuh ibunya.

31 Januari 2020 | 07.30 WIB

Joker dalam Kriminologi Lombroso
Perbesar
Joker dalam Kriminologi Lombroso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Seno Gumira Ajidarma
PanaJournal.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Di Indonesia, film Joker (Todd Philips, 2019) sempat mengundang polemik karena terdapat adegan anak membunuh ibunya. Adegan itu memang penting untuk menunjukkan hubungan cinta yang tragis, sehingga tidak mungkin digunting sensor tanpa akibat fatal. Meski begitu, tanpa melihat film ini melalui media non-bioskop agar penonton dapat menghentikan jalannya film untuk mengulang adegan yang dialognya terlalu singkat, atau membaca tulisan tangan pada properti seperti buku harian dan pesan di balik foto, belum tentu juga Joker sampai dengan utuh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Benarkah Penny Fleck, ibu dari Arthur Fleck, hanya mengalami delusi dalam hubungannya dengan Thomas Wayne, orang terkaya di Gotham City? Menurut pihak Thomas, Arthur adalah anak adopsi Penny. Jadi, tak mungkin pelayannya itu melahirkan anak Thomas. Bahkan bukti surat adopsinya tercatat pada arsip resmi. Masalahnya, menurut Penny, surat resmi itu merupakan produk manipulasi. Dalam konteks delusi, Penny juga digambarkan terus-menerus menulis surat kepada Thomas, yang meminta agar dia dan anaknya-yang tenggelam dalam kemiskinan-diurus.

Tapi kemudian Arthur menemukan tulisan tangan bertanda inisial "TW" di balik foto ibunya: ternyata mereka pernah berhubungan. Ada dua kemungkinan yang berjalan paralel: ibunya dibunuh agar terbebas dari delusi atau supaya terbebas dari kenyataan hidupnya yang tragis. Bagi Arthur, yang bekerja sebagai badut, hidupnya seperti komedi, dipermainkan dan menjadi bahan tertawaan. Itulah yang ironis. Saat mengungkap itu, Murray, pengasuh acara komedi televisi terkenal, justru ditembak di tengah siaran, dengan Arthur sebagai bintang tamunya. Dapatkah dikatakan Arthur membunuh dengan sadar?

Bukan sisi "hiburan" yang paling relevan dari Joker, melainkan peluang tesis kriminologi. Pengertian atavisme, yang berarti muncul kembalinya naluri purba-dalam hal ini untuk membunuh-sebagai teori Cesare Lombroso (1835-1909) sudah lama ditolak. Tapi pembunuh sebagai monster masih dominan dalam susastra maupun sinema. Dalam Joker, yang tidak digambarkan tapi disebutkan adalah nasib malang ibu dan anak sebagai korban penganiayaan tiada habisnya sampai Arthur dewasa dan menjadi adegan pembuka film.

Faktor ini mengakibatkan cedera kejiwaan, ditambah kehidupan sosial Gotham City yang mendorong alienasi hingga setiap pribadi tidak dapat menggapai identitasnya sendiri. Sementara itu, kalkulasi keuangan kotapraja menghapus keberadaan institusi psikologi sebagai benteng terakhir keselamatan jiwa. Ini membuat mitos natural born killer gugur karena kehidupan kota itu sendiri yang melahirkannya: sistem sosial melahirkan kelompok tersingkir yang hanya bisa bertahan dengan cara ekstrem.

Dalam kriminologi, meski kemungkinan terdapat pembunuh alamiah tidak dimungkinkan, teori itu belum kehilangan pengikut. Meski atavisme Lombroso dipatahkan genetika, metodologi riset yang dilakukannya membuka jalan bagi pengetahuan kriminologi deterministik modern, antara lain melalui statistik. Dengan pendekatan ini, penyebab kriminalitas merupakan produk pra-kondisi yang tidak terkontrol pelakunya, yang disebut "criminaloid".

Pendekatan positivistik ini menjadi peluang pembelaan di pengadilan, melawan pendekatan abad ke-18 yang merujuk pada paham betapa manusia memiliki kehendak bebas: kriminalitas yang dilakukannya merupakan pilihan-atas pilihan itulah pelakunya dihukum. Pada awal abad ke-20, klasisisme Era Pencerahan itu terdesak oleh pendekatan positivistik dan deterministik dalam etiologi (ilmu tentang penyebab) kriminologis (Horton dan Rich, 2004: vii). Terdakwa bisa dibela dengan argumen kegilaan.

Adegan akhir Joker memperlihatkan Arthur berada di rumah sakit jiwa, yang tersenyum getir atas tragedi hidupnya, antara normalitas dan kegilaan. Dalam deduksi untuk meramal kondisi kriminalitas dan kegilaan abad ke-21 dari statistik, artikel anumerta Lombroso pada 1912 mengungkap: di Prancis, insan tergilakan bertambah 53 persen dalam 33 tahun ketika penduduk hanya bertumbuh 11 persen; di Italia, 17.471 insan tergilakan pada 1880 menjadi 45 ribu pada 1907, tiga kali lipat dalam 27 tahun; di Amerika Serikat, dalam 30 tahun penduduk bertambah dua kali lipat tapi insan tergilakan berlipat enam kali, dari 15.610 menjadi 95.998.

Dari segi fisik, Lombroso menunjuk narkotik dan alkohol sebagai penyebabnya. Tapi, dari segi psikis, penggunaannya disebut karena menghindar dari "meningkatnya kejemuan dalam kehidupan sehari-hari, sebagai secuil kebahagiaan semu" (Lombroso dalam ibid., 352).

Dalam Joker, imaji badut sebagai pemantik kebahagiaan berada dalam paradoks "menyenangkan karena menyusahkan", ketika usaha untuk menjadi bahagia selalu gagal. Saat seisi kota mengenakan topeng badut dalam makna sebaliknya, criminaloid macam apakah yang akan dihasilkannya? Yang jelas, sistem sosial yang melahirkannya akan terhukum pula.

 
Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus