Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MALAM itu topik pengajian Kiai Misbah adalah soal kemiskinan dan mutlaknya menyiapkan SDM (sumber daya manusia) yang hebat. Hanya dengan SDM yang menguasai iptek canggih, kata Kiai Misbah mengutip pidato seorang pejabat kemiskinan bisa diatasi. Seorang jemaah berkomentar. Soal kemiskinan, meskipun barang kuno, kini kembali ramai dibicarakan orang. Namun, ''Yang muskil bagi saya,'' kata jemaah tadi, ''adalah menyangkut penegasan Alquran bahwa 'tidak ada satu makhluk melata di atas bumi kecuali telah ditanggung Tuhan rezekinya' (Hud: 8). Tapi mengapa kemiskinan terus terjadi dan semakin banyak terjadi, bahkan pada zaman modern ini ketika gelombang SDM dengan iptek canggihnya hampir menguras habis kekayaan alam yang tersedia? Kenapa?'' Kiai Misbah bersaksi, ''Untuk menanggapi pertanyaan ini, saya punya kitab (kuning). Di sini diterangkan tiga teori kemiskinan, mengapa terjadi dan bagaimana cara mengatasinya.'' Teori pertama, ia menjelaskan, kemiskinan itu terjadi sepenuhnya karena takdir Tuhan. Ma syaallahu kana wamaa lam yasya lam yakun (apa yang Dia kehendaki terjadi, dan yang tidak: tidak.) Tujuan Tuhan menggelar kemiskinan adalah untuk menguji keimanan (kepasrahan) yang bersangkutan. Bagi yang pasrah, katanya, kemiskinan bisa berbalik menjadi anugerah yang akan mempercepat proses perjalanan si miskin menuju surga, 500 tahun lebih cepat dari mukmin lain yang kaya. Teori ini tidak menganggap relevan usaha mengatasi kemiskinan. Yang relevan adalah memberikan santunan, sedekah, dari yang punya kepada yang tidak punya. Tapi sekali lagi ini tidak dengan pretensi untuk mengentas mereka dari kemiskinannya, melainkan semata-mata karena ajaran menganjurkan demikian: sedekah itu baik. Teori kedua, kemiskinan itu terjadi bukan karena takdir Tuhan, melainkan karena sistem atau struktur yang timpang. Dan sistem atau struktur yang timpang itu hasil ulah manusia sendiri, secara keseluruhan. Tuhan tidak tahu-menahu, kenapa sebagian orang menjadi kaya raya, sedangkan yang lain tidak punya apa- apa. Sebab itu, jika kemiskinan hendak diatasi, satu-satunya jalan adalah mengubah sistem atau struktur yang timpang tadi sedemikian rupa sehingga setiap orang dijamin dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Siapa yang harus melakukan perubahan? Tentu saja orang miskin itu sendiri, sebab merekalah yang paling berkepentingan. Teori pertama yang teosentris, kata Kiai Misbah, sudah tidak populer. Di samping menganjurkan orang untuk pasif, teori ini juga tidak sesuai dengan semangat antropomorfisme dunia modern yang sangat percaya pada kemampuan manusia untuk mengatasi sendiri persoalannya. Sedangkan teori kedua, karena sifatnya yang antagonis terhadap kepentingan kelompok mapan yang diuntungkan oleh struktur yang timpang tadi, semakin terpojok atau dipojokkan. Tinggallah teori ketiga yang masih berjaya juga di kalangan kita. Menurut teori ini, kemiskinan terjadi bukan karena takdir, dan bukan pula karena struktur, melainkan karena ada yang salah pada diri pribadi orang miskin itu sendiri, yakni karena mereka tidak rasional, malas, tidak punya etos kerja, cepat merasa puas, terlalu tepa salira, tidak terampil, tak berteknologi, dan seterusnya. Sebab itu, jika kemiskinan hendak diatasi, menurut teori ini, satu-satunya jalan adalah mengubah sifat-sifat pribadi yang negatif tadi dengan sifat lain yang positif, yang akan mengkondisikan mereka tumbuh menjadi orang kaya, yakni berpikir rasional, kerja keras, lugas, tega, pandai melihat lubang usaha, penuh prakarsa, terampil, dan di atas segalanya beriptek canggih. Strategi untuk itu tidak lain adalah pendidikan atau, lebih fokus lagi, pelatihan! Tapi siapa yang harus mengupayakan pendidikan dan pelatihan? Pastilah bukan orang-orang miskin itu sendiri, melainkan orang- orang yang sudah kaya, langsung atau melalui negara, secara suka rela atau dipaksa. Jika orang kaya tadi tidak mau mengulurkan tangan untuk mendidik dan melatih mereka, teori ini mengingatkan: kemiskinan yang parah dan meluas akan menghasut orang miskin untuk melakukan harakiri, merebut apa saja kenikmatan yang selama ini direguk orang kaya. Maka, daripada kehilangan semuanya, orang pasti memilih melepaskan yang sedikit saja. Memegang teguh prinsip beri kail, jangan beri ikan, teori ini adalah: pendidikan dan pelatihan akan membekali generasi mendatang dengan kail ajaib, yakni iptek yang canggih. Dengan kail ajaib ini, mereka akan mampu berkelit dari bahaya kemiskinan dan mencapai kesejahteraan. Kiai Misbah sendiri dalam catatan akhirnya tampak mengapresiasi teori ketiga yang nge-trend ini. Namun, bagaimanapun, kita tak boleh fanatik. Teori ini, meskipun masuk akal, harus kita dukung dengan kritik pedas lantaran kecenderungannya untuk mengabaikan sesuatu yang bukan kail tapi tak kalah penting dengan kail betapapun canggihnya yakni empang, tempat kail yang canggih itu akan dimainkan. Yang dimaksud dengan empang adalah ''modal sumber daya alam maupun uang, dan pasar''. Sekarang ini, jangankan empang yang ada di sekitar kita, lautan pun telah hampir habis dikaveling (beberapa) orang. Empang atau lautan tempat kail iptek dimainkan itulah struktur sosial (ekonomi) adanya. ''Bagi saya,'' kata Kiai Misbah, ''menyiapkan kail iptek yang canggih dengan pendidikan dan pelatihan memang penting. Namun, komitmen dan ikhtiar politik dari kita semua yang tak kalah pentingnya adalah membenahi tatanan agar empang dan lautan bisa dibuka kembali untuk umum. Kail tanpa empang, ya, bagaimana?''
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo