Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Karut-marut Kampanye di Televisi

19 Desember 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wilson Sitorus

Simpan dulu prasangka, gaya rambut terbaru Syahrini yang dia beri nama jambul terowongan Casablanca segera disusul jambul Jeruk Purut, dan keduanya adalah pengalihan isu jambul suster ngesot. Mari sebentar saya kisahkan, tiga tahun lalu lebih sedikit, kita mafhum hanya di Indonesia kampanye partai politik di televisi bukan tentang pertarungan gagasan, melainkan advertensi saja.

Akibatnya, kita tak pernah tahu strategi apa yang sedang dirancang untuk merestorasi Indonesia, misalnya. Atau langkah-langkah yang akan ditempuh untuk Indonesia yang bersih dan adil. Kita juga tak pernah tahu bagian-bagian mana saja yang perlu dilanjutkan, atau suara wong cilik yang dianggap sebagai ejawantahan suara Tuhan. Semua partai politik menyatakan akan merawat Indonesia agar lebih baik, tapi tak pernah memberi tahu caranya.

Kampanye partai politik di televisi adalah keniscayaan. Menggunakan frekuensi publik yang kapasitasnya terbatas, domain tersebut sahih digunakan untuk tujuan publik melek gagasan (partai) politik. Karena itu, pada Pemilihan Umum 2009, kampanye partai politik di televisi diatur baik melalui peraturan Komisi Pemilihan Umum maupun nota kesepahaman bersama antara KPU dan Komisi Penyiaran Indonesia tentang pengawasan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye pemilu. Peraturan tersebut antara lain mengatur blocking time, blocking segment, dan iklan partai politik maksimum kumulatif 10 spot per hari dengan durasi per spot maksimal 30 detik.

Kini peraturan itu tak relevan karena dua hal. Pertama, kampanye partai politik di televisi sudah dimulai jauh sebelum masa kampanye pemilu ditetapkan. Ini anomali, karena pemilik televisi adalah juga pengurus teras partai politik. Tersebutlah Partai NasDem dan Partai Golkar, dua partai yang paling sering berkampanye di televisi. Disusul Partai Amanat Nasional, Partai Demokrat, Partai Gerindra, Partai Hanura, dan sesekali Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang memanfaatkan hari besar nasional untuk beriklan.

Tidak cukup hanya mencuri start, kampanye partai politik juga ”mencuri” para calon pemilih pemula yang saat ini masih berusia 15 tahun. Mereka sedang diijon iklan partai politik untuk menjadi pemilih pemula di Pemilu 2014. Tak mengherankan bila iklan Partai NasDem muncul pada live match final sepak bola SEA Games kemarin.

Kedua, kampanye partai politik kiwari juga menyusup melalui program bincang-bincang. Program talk show yang membahas topik ekonomi kerakyatan, misalnya, acap kali dihubung-hubungkan dengan kiprah sebuah partai politik yang sedang memberikan kredit murah untuk masyarakat desa. Bukan hanya itu, program talk show juga sering-sering berbelok arah menjadi kampanye hitam bagi partai politik lain. Pembahasan tentang kinerja Panitia Khusus Bank Century, misalnya, ujung-ujungnya akan bermuara pada sosok Sri Mulyani dan partai yang mengusungnya. Sering-sering menjadi stigmatisasi.

Sejatinya ada tiga hal yang harus dicermati guna mengurai karut-marut kampanye partai politik di televisi. Pertama, iklan partai dilarang ditampilkan pada jam tayang anak. Sebab, selain tidak bermanfaat bagi anak-anak, terutama tidak bermanfaat bagi partai politik itu sendiri. Ihwal kategorisasi program berdasarkan usia, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia wajib dijadikan rujukan.

Kedua, kampanye partai politik harus semata-mata tentang pertarungan gagasan. Partai wajib menjelaskan kepada (calon) konstituen bagaimana gagasan itu hendak dicapai. Partai politik yang melulu berlindung di balik asas ”pilih dulu partai ini” atau ”caranya kita pikirkan kemudian” akan dipahami sebagai partai yang tak punya gagasan.

Ketiga, memeriksa kembali program bincang-bincang yang insinuatif dan ditunggangi partai politik tertentu. Harus tersedia cukup peraturan yang membatasi stasiun televisi mengumpulkan pengamat politik yang itu-itu saja, untuk membincangkan partai lain, tanpa kehadiran narasumber penyeimbang. Fenomena ”mengeroyok” partai tertentu, selain terbukti merontokkan perolehan rating dan share program bincang-bincang politik rata-rata 1-2 basis point, pastilah tak sesuai juga dengan jambul, maksud saya, fatsoen politik.

*) Penulis praktisi televisi. Tulisan ini pendapat pribadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus