Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak bisa dibayangkan, hanya karena mengatakan, ”Saya butuh pacul besar,” seseorang bisa dipenjarakan dengan tuduhan menyebarluaskan pornografi. Secara linguistik tidak ada yang salah dalam kalimat tersebut; orang itu memerlukan cangkul besar (mungkin akan dipakai) untuk mengolah ladang atau kebun. Namun, bagi masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan, kata butuh dan pacul adalah sebutan untuk alat kelamin laki-laki.
Begitulah yang akan terjadi bila kita simak Bab II, pasal 4, ayat (1) Undang-Undang Pornografi; (Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat:) huruf (i) alat kelamin. Di sini saya khusus menekankan pada bagian menyebarluaskan dan menyiarkan.
Sesuai dengan petunjuk undang-undang, masyarakat Banjar harus ikut ”melaporkan pelanggaran dan melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan” terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi (Bab IV, pasal 22, huruf a dan b).
Hal yang sama juga dapat dilakukan masyarakat lain. Sebuah pengalaman yang masih segar dalam ingatan saya, ketika film Nagabonar diputar di Sumatera Utara pada 1987. Film itu diprotes masyarakat setempat dan pemutarannya minta dihentikan. Bukan karena ada yang salah dalam penggambaran masyarakat Batak, tetapi karena ada nama tokoh Bujang, yang dinilai telah mengusik rasa sopan-santun masyarakat Batak. Nama peran itu dalam bahasa mereka, maaf, berarti kelamin wanita. Padahal, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Bujang bisa berarti nama anak laki-laki, pembantu, atau pelayan.
Ada pula pengalaman sebuah kelompok lawak Ibu Kota, semasa menggelar pertunjukan di Batam, Kepulauan Riau. Ketika seorang pelawak mengatakan, ”Pantat saya ternyata masih ada di atas!” penonton bukannya tertawa, malahan terdiam. Masalahnya ada pada kata pantat itu, karena bagi masyarakat Melayu artinya sama dengan bujang tadi.
Warga etnis Dayak Kenyah di Kalimantan Timur tentu akan ikut pula menggugat penyanyi yang mendendangkan lagu rakyat Tapanuli, Sitara Tilo-Tilo. Lagu itu dapat dituduh telah menyebarluaskan dan menyiarkan pornografi di wilayah mereka. Karena tilo-tilo dalam bahasa mereka berarti alat kelamin laki-laki. Seorang perempuan Betawi tetangga saya pernah disoraki orang di sebuah desa di Cianjur, Jawa Barat, beberapa tahun lalu. Karena cuciannya hanyut di sungai, ia berteriak-teriak, ”Tolong, cucian saya kanyut, hei kanyut, tolong, kanyut!”
Itu antarbahasa daerah. Bagaimana pula arti sejumlah kosakata bahasa Indonesia bagi masyarakat di sejumlah daerah? Kalau ingin dipelototi orang, cobalah katakan sombong di Makassar. Nasihat bagi orang Betawi, jangan coba-coba jual kue pepe, atau membuka usaha pantek sumur di Sumatera Barat. Orang Jawa jangan pula mengatakan momok di daerah Pasundan. Kata-kata itu termasuk pantang diucapkan. Menggunakan kata itu dapat dikategorikan sebagai penyebarluasan dan penyiaran alat kelamin. Menurut Pasal 18: ”Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.” Artinya, saya bisa ditangkap dengan tuduhan melanggar pasal 8 karena bermain sebagai Bujang dalam film Nagabonar; ”Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi obyek atau model yang mengandung muatan pornografi.”
Setelah membaca batang tubuh Undang-Undang tentang Pornografi, saya sangat yakin, tim penyusunnya tidak mengenal atau tidak mengetahui berbagai bahasa daerah yang hidup di negeri ini. Padahal, fondasi bahasa Indonesia dibentuk dari berbagai bahasa daerah di Nusantara. Ketidaktahuan itu dapat mengakibatkan beberapa kosakata dalam bahasa Indonesia dan beberapa kosakata dalam bahasa daerah dihapus dari kamus, atau dilarang diucapkan untuk selama-lamanya. Karena, bila kata itu diucapkan, artinya dapat mengarah ke pornografi.
Nah, sekarang apa tuduhan yang akan diberikan kepada pejabat yang suka sekali melafalkan ”c” sebagai ”k”. Misalnya, mengucapkan ”pasca” menjadi ”paska”? Boleh percaya boleh tidak, di suatu daerah di kawasan Indonesia tengah, paska itu artinya (maaf) ”senggama sambil berdiri”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo