Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah harus bergerak cepat merumuskan kebijakan ekonomi yang jitu untuk mengatasi kesenjangan pendapatan kelompok miskin dan superkaya di Indonesia. Tanpa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi kita, jurang ketimpangan makin lama bakal kian lebar. Dalam jangka menengah dan panjang, situasi ini pasti memicu ketidakpuasan sosial yang meluas. Kalau sudah begitu, pemantik kecil saja bisa menyulut konflik sosial yang penuh kekerasan.
Alarm bahaya melebarnya ketimpangan ekonomi dalam dua tahun terakhir disuarakan lembaga pemerintah sendiri. Adalah Lembaga Penjamin Simpanan yang pada awal pekan ini merilis data pertumbuhan tabungan atau simpanan warga Indonesia. Menurut data lembaga yang didirikan pasca-krisis moneter 1998 ini, pertumbuhan simpanan masyarakat di bawah Rp 100 juta melambat dibanding pertumbuhan simpanan di atas Rp 5 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setahun terakhir, hingga 31 Maret 2023, simpanan di atas Rp 5 miliar tumbuh 9,36 persen dengan total nilai Rp 4.380 triliun dan 129 ribu rekening. Pada periode yang sama, jumlah total simpanan di bawah Rp 100 juta hanya tumbuh 3,4 persen dengan total nilai Rp 989 triliun dan 504,7 juta rekening. Padahal jumlah rekening simpanan di bawah 100 juta mencakup 98,5 persen dari total seluruh simpanan di lembaga perbankan. Data tersebut bisa dibaca sebagai indikator bahwa, di Indonesia, orang kaya makin kaya, sementara kalangan menengah ke bawah, yang merupakan mayoritas, makin tertinggal di belakang.
Apalagi, menurut data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan pada 2019, ada 1 persen orang terkaya di Indonesia yang menguasai 50 persen aset nasional. Bukti konkretnya bisa dicermati dari profil daftar orang terkaya di Tanah Air. Mereka rata-rata adalah pengusaha yang mengekspor sumber daya alam yang dikeruk dari konsesi bisnis tambang batu bara, tambang nikel, dan perkebunan sawit yang mereka kuasai.
Walhasil, para pengusaha kakap ini mendapat durian runtuh saat terjadi kenaikan harga komoditas dan energi pada 2021 dan 2022. Pundi-pundi mereka makin tebal. Menurut data Forbes pada Desember 2022, kekayaan gabungan 50 orang terkaya di Indonesia 2022 naik menjadi US$ 180 miliar dari US$ 162 miliar pada 2021. Jelas sekali bahwa hak penguasaan atas tambang batu bara dan industri ekstraktif lainnya, yang diberikan pemerintah, membuat kelompok ini makin tajir melintir. Padahal, di saat yang sama, ketimpangan di Indonesia makin menjadi, dengan bertambahnya jumlah penduduk miskin. Hingga akhir September 2022, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 26,36 juta orang atau bertambah 200 ribu orang dibanding Maret 2022.
Di sinilah pemerintah seharusnya berperan penting. Dengan ramuan kebijakan fiskal dan moneter yang tepat, berkah lonjakan harga komoditas seyogianya bisa dinikmati seluruh masyarakat, bukan hanya segelintir pemodal. Melebarnya jurang pendapatan kaya dan miskin di tengah jorjoran kenaikan harga komoditas selama dua tahun terakhir menunjukkan pemerintah gagal memanfaatkan momentum ini untuk kepentingan semua lapisan masyarakat. Ini alarm yang harus direspons pemerintah dengan bekerja lebih serius memperkecil jarak ketimpangan ekonomi di masyarakat.
Baca: Jumlah Pekerja Informal Terus Meningkat
Pandemi Covid-19 memang telah menunda banyak rencana penting yang digagas pemerintah sejak 2020. Sejumlah kebijakan temporer--seperti penyaluran bantuan langsung tunai--terpaksa diambil selama periode ini untuk menyelamatkan lapisan masyarat terbawah dari kesulitan ekonomi akibat krisis yang melanda dunia usaha. Namun, kini kita tahu, berbagai paket pemulihan ekonomi nasional yang diluncurkan ketika pandemi ternyata juga secara signifikan membantu kelompok yang sudah mapan serta membuat mereka makin mapan.
Karena itu, Presiden Joko Widodo perlu melakukan evaluasi menyeluruh atas berbagai regulasi dan kebijakan ekonomi, untuk memastikan semua insentif yang disediakan pemerintah selama ini benar-benar tepat sasaran. Jangan sampai ada kebijakan yang semata-mata berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan melupakan pemerataan pendapatan bagi semua orang. Tanpa kejelasan arah kebijakan ekonomi semacam itu, ketimpangan ekonomi di negeri ini akan makin luas dan mengancam kemaslahatan bagi semua orang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo