Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pekan tak selalu bermakna satuan waktu berdurasi tujuh hari alias seminggu.
Bahasa Melayu menguatkan arti pekan sebagai “bandar” atau “tempat perniagaan”.
Nama “Pekan Baharu” telah dikenal sejak abad ke-18 sebagai ibu kota Kerajaan Siak Sri Indrapura; kemudian berubah jadi “Pekanbaru” sebagai ibu kota Provinsi Riau pada 1958.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNSUR kata pekan pada Pekan Olahraga Nasional (PON), menurut Samsudin Adlawi, tak lagi cocok sebagai bagian dari nama lomba gerak badan di Tanah Air itu (lihat kolomnya, “Bukan Lagi PON”, Tempo, 15-21 November 2021). Argumennya, sejak digelar pertama kali di Solo (1948) hingga yang terakhir di Papua (2021), kebanyakan jadwal PON melenceng dari tujuh hari, tidak sesuai dengan arti kata pekan yang disandangnya. Ditunjukkan, PON I hanya berlangsung empat hari, sedangkan yang terakhir melar hingga 24 hari. Bahkan PON II dan VI (keduanya di Jakarta, 1951 dan 1965) digeber masing-masing 37 hari dan 34 hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentu tak salah mengartikan pekan sebagai satuan waktu berdurasi tujuh hari alias seminggu seperti terbaca pada kamus-kamus umum bahasa Indonesia. Dalam kamus Poerwadarminta (1976) disebutkan bahwa pekan ialah “minggu (7 hari)”; begitu pula bunyi definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Badan Bahasa. Kamus tesaurus Eko Endarmoko (2007) dan Pusat Bahasa (2009) pun idem ditto. Dicocokkan dengan agenda pesta olahraga tersebut, hanya jadwal PON III di Medan (20-27 September 1953) dan PON V di Bandung (23 September-1 Oktober 1961) yang mendekati batasan pekan―dengan kelebihan satu-dua hari.
Jika semata-mata terpaku pada definisi pekan dalam kamus-kamus edisi tersebut, ditambah dengan fakta pergelaran PON yang tak konsisten tujuh hari, kritik Adlawi cukup beralasan. Namun KBBI Edisi V (daring) telah menambahkan satu arti baru tentang pekan berbunyi, “pertemuan atau acara yang dibuat untuk memperlombakan sesuatu (tentang olahraga, seni, dan sebagainya)”―tanpa menyebut unsur hitungan (tujuh) hari. Contoh kalimatnya, “Pekan Olahraga Nasional dilaksanakan empat tahun sekali”, cukup jelas untuk menjawab kritik tersebut.
Hal itu menyiratkan bahwa (satu) pekan tak selalu berjumlah tujuh hari. Dalam tradisi Bali, umpamanya, perputaran hari (disebut wara) dalam konsep serupa pekan merentang mulai dua hari atau dwiwara hingga sepuluh hari alias dasawara. Di perdesaan Jawa dikenal istilah pekenan (dari peken), bentuk kråmå pasaran, yakni siklus lima-harian keramaian pasar dalam sepekan, dinamai Wage, Kliwon, Legi, Paing, dan Pon. Sebuah pasar berjulukan Pasar Wage, sebagai contoh, karena puncak keramaiannya terjadi pada Wage; sementara keramaian pasar lain bisa jatuh pada hari pasaran yang berbeda-beda (lihat Alice G. Dewey, Peasant Marketing in Java, 1962).
Maka di sini kita diingatkan kembali arti lain kata pekan, yaitu “pasar”―yang tak disebut sama sekali oleh Adlawi. Arti pekan yang satu ini malah merupakan makna utama (lihat kembali kamus Poerwadarminta dan KBBI). Takrif lain ialah “pasar yang hanya diadakan sekali dalam seminggu” (Badudu/Zain 1996). Pengertian ini senada dengan pasaran atau pekenan di pasar tradisional Jawa yang telah disebutkan. Juga serupa dengan pekan sari dalam bahasa Melayu, yaitu “pasar yang diadakan sehari dalam satu minggu” (Kamus Dewan Bahasa dan Pustaka Edisi IV).
Jadi, seperti terbaca dalam kamus-kamus bahasa Indonesia, arti pertama pekan ialah “pasar”; sedangkan arti sebagai satuan hari merupakan makna kedua. Dalam Kamus Dewan Bahasa, arti serupa itu bahkan ditaruh di urutan buncit setelah sublema pekan sari tadi. Dalam takrif sublema pekan raya di KBBI, unsur bilangan hari bahkan tak disebut-sebut lagi: “pasar malam besar dan bermacam-macam pameran (baik dari dalam maupun luar negeri) dan pertunjukan”. Sebagai contoh konkret, Pekan Raya Jakarta yang digelar saban ulang tahun Kota Jakarta itu berlangsung sekitar sebulan.
Bahasa Melayu (tampaknya jadi sumber penting kata pekan) menguatkan arti pekan sebagai “bandar” atau “tempat perniagaan”. Nama “Pekan Baharu”, salah satu buktinya, telah dikenal sejak abad ke-18 sebagai ibu kota Kerajaan Siak Sri Indrapura; kemudian berubah jadi “Pekanbaru” sebagai ibu kota Provinsi Riau pada 1958. Di negeri-negeri Melayu, bandar dikukuhkan sebagai institusi ekonomi dan sosial yang memungkinkan semua warga leluasa berinteraksi dengan sesamanya, bahkan dengan dunia luar. Jejak sejarah menunjukkan bahwa keunggulan kerajaan klasik di negeri-negeri itu ditandai oleh keramaian bandarnya.
Tak salah jadinya jika kata pekan pada Pekan Olahraga Nasional ditafsirkan secara lain. Jangan-jangan, sejak awal, pilihan atas kata itu memang tak dimaksudkan merujuk pada waktu seminggu suntuk untuk menggelar hajatan besar tersebut. Yang hendak dikesankan dengan makna kata itu, seperti selama ini ditampilkan, ialah suasana riang gempita―bak kemeriahan bandar atawa pekan raya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo