Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Komunitas

12 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam perjalanan panjang iman dan manusia, sesuatu telah terjadi: Tuhan tetap disebut dan disembah, tetapi dengan posisi yang telah bergeser. Saya bertemu dengan Farid Essack, seorang pemikir muslim dari Afrika Selatan, dan ia mengutip sebuah statistik. Menurut hitungan yang dibuat oleh Wilfred Cantwell Smith, di zaman awal Islam hampir seluruh khazanah pemikiran agama ditulis dengan terpusat ke sebuah pokok, yakni "Allah". Tapi kemudian berangsur-angsur perubahan terjadi: lebih besar jumlah risalah yang berfokuskan "Islam". Agama, dan bukan Tuhan, semakin sering diacu. "Islam" telah berkembang jadi hal yang demikian penting sehingga seakan-akan jadi arah pengabdian. Dulu orang takzim dan khusyuk di depan Tuhan. Kemudian orang takzim (mungkin khusyuk, mungkin tidak) di depan sistem dan prosedur yang mengatur ketakziman itu. Religiositas—yang pernah menyebabkan puisi sufi bisa lahir—telah berubah. Perubahan itu semakin kelihatan ketika kemudian bukan "Allah" dan bukan "Islam" lagi yang menjadi fokus, melainkan "umat". Seakan-akan "Islam" ibarat roh yang menemukan sosok tubuhnya dalam "umat" itu. Mungkin sejajar, meskipun tak sama, dengan pengertian "Gereja" di kalangan Katolik, "umat" jadi pengertian yang kian lama kian sentral. Tentu saja "umat", sebagai sosok tubuh "Islam", dibayangkan sebagai sesuatu yang utuh, suatu totalitas. Dulu orang datang ke hadapan Tuhan sebagai diri dengan harap dan kesunyian masing-masing, juga ketika kita berjamaah. Kemudian orang datang sebagai bagian dari sebuah harapan dan kecemasan kolektif. Saya tak tahu seberapa akurat statistik yang disebut Essack dan bagaimana angka-angka di sana mendukung cerita tentang perubahan orientasi itu. Kata-kata Ernest Gellner bahwa agama adalah "a celebration of community" mungkin dimaksudkannya untuk kapan saja dan di mana saja, tetapi agaknya paling cocok dengan suatu zaman ketika Tuhan tetap disebut dan disembah, tetapi dengan posisi yang telah bergeser: Tuhan yang tak lagi dekat—Tuhan yang tak lagi lebih dekat dari urat nadi kita—melainkan Tuhan yang semakin jauh, setelah Ia didudukkan nun di sana, di dalam balairung agung yang dikuasai kolektivitas, dijaga oleh berlapis-lapis sistem dan prosedur. Dan di situlah soalnya. Ketika umat jadi pokok soal satu-satunya, keterbatasannya pun diabaikan. Dorongan untuk tampil sebagai komunitas tak jarang juga berarti dorongan untuk selamanya bersatu-padu. Kesatupaduan itu bisa jadi mutlak. Dan ketika itu berlangsung, maka hidup, mati, laku baik atau laku jahat seorang warga akhirnya adalah urusan komunitas itu. Amal dan dosa seakan-akan ditanggungkan bersama: sebuah perkara publik. Totalitarianisme bermula dari sini, dari sebuah kehilangan: hilangnya laku yang ditanggungkan sendiri. Di masa Revolusi Kebudayaan di Cina—sebagai contoh besar suasana totaliter—setiap orang harus di jalan yang benar seperti yang ditentukan oleh kolektivitas. Untuk itu ia akhirnya harus hafal ucapan Ketua Mao yang disusun secara sama. Ungkapan yang menyimpang dicurigai. Cita-cita revolusi yang luhur tetap dikibarkan, tetapi yang disembah adalah bagaimana memahami ajaran. Akhirnya Buku Merah itu yang suci. Dalam perjalanan panjang iman dan manusia, yang suci akhirnya sering "disekutukan" dengan hal-hal yang seharusnya tak suci. Bukan hanya jimat, tapi juga kata dan tafsir. Bukan hanya patung, tapi juga aturan dan rituil. Bukan hanya ikon, tapi juga komunitas itu sendiri. Komunitas yang jadi suci adalah komunitas yang mengharamkan ketidakmurnian. Tetapi bagaimana hidup tanpa ketidakmurnian? "Agar roda bisa berputar, hidup dihayati, ketidakmurnian diperlukan, juga, seperti diketahui, ketakmurnian dari ketakmurnian tanah, jika tanah itu hendak subur." Itu kata-kata Primo Levi, seorang kimiawan yang juga penyair. Ia mengucapkannya bukan saja karena ia memahami persenyawaan yang tiap kali berlangsung dalam alam antara pelbagai zat. Ia telah mengalaminya dengan tubuh dan nasibnya. Ia dianggap "tak murni" dalam komunitas bangsa Italia. Karena oleh Fascisme, kebangsaan adalah sesuatu yang sakral, Primo Levi pun ditangkap. Ia keturunan Yahudi. Ia "asing", ia "berbeda". Ia dimasukkan ke dalam kamp konsentrasi, dan hanya selamat karena keahliannya diperlukan. Tapi kimia hanyalah sebagian dari dunianya. Sebagian lain adalah puisi, kesusastraan—sesuatu yang lahir dari perbenturan dan campuran pelbagai anasir, sering secara mengejutkan, dan sebab itu sering bentrok dengan apa saja yang lurus dan tunggal. "Perselisihan, keragaman, butir garam dan mustar dibutuhkan: Fascisme tak menghendaki itu semua, melarang mereka…, menginginkan setiap orang sama, dan kau tidak. Tapi kebajikan yang tanpa cacat tak pernah ada, dan kalaupun ada, kebajikan yang seperti itu menjijikkan." Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus