Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Langkah Mundur di Pasal Penghinaan

Keputusan Presiden Joko Widodo yang didukung wakilnya, Jusuf Kalla, menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap kepala negara merupakan kemunduran. Di antara 786 pasal Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang disodorkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, terselip pasal-pasal karet tersebut. Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) pada 6 Desember 2006 telah mencabutnya dengan mengabulkan gugatan uji materi atas pasal penghinaan itu.

6 Agustus 2015 | 01.23 WIB

Langkah Mundur di Pasal Penghinaan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Keputusan Presiden Joko Widodo yang didukung wakilnya, Jusuf Kalla, menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap kepala negara merupakan kemunduran. Di antara 786 pasal Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang disodorkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, terselip pasal-pasal karet tersebut. Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) pada 6 Desember 2006 telah mencabutnya dengan mengabulkan gugatan uji materi atas pasal penghinaan itu.

Bukan hanya merupakan langkah mundur, sikap Jokowi ini patut disayangkan karena berpotensi memberangus kebebasan berekspresi yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 28, 28E (2), dan 28E (3). Sikap seperti ini serupa dengan pendahulunya, yang alergi terhadap kritik. Akibatnya, protes, pernyataan, pendapat, atau pikiran yang seharusnya merupakan kritik serta-merta ditafsirkan oleh penegak hukum sebagai penghinaan terhadap penguasa.

Dengan memasukkan kembali pasal-pasal yang sudah dibatalkan oleh MK, lembaga kepresidenan dapat dianggap melawan konstitusi. Pembatalan pasal-pasal itu berlaku final dan mengikat sejak ketua majelis hakim MK, Jimly Asshiddiqie, mengetuk palu dalam sidang putusan.

Pasal penghinaan terhadap kepala negara telah banyak menelan korban dari kalangan aktivis demokrasi yang dianggap menghina penguasa. Fahrurahman dan Bay Harkat Firdaus dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, serta I Wayan Gendo, aktivis asal Bali, adalah contoh yang pernah terjerat pasal penghinaan presiden pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Pemerintah Jokowi semestinya tidak perlu memasukkan pasal khusus, seperti Pasal 263 dan 264, ke dalam RUU KUHP itu. Bukankah, seperti juga putusan MK, untuk delik penghinaan presiden dan/atau wakil presiden dapat diberlakukan Pasal 310, 311, dan 312 KUHP bila penghinaan ditujukan kepada pribadi? Sedangkan Pasal 207 KUHP jika penghinaan ditujukan selaku pejabat.

Presiden seharusnya becermin pada kegagalan pembahasan RUU KUHP ini hingga berkali-kali karena ada kontroversi. RUU KUHP telah menjadi agenda di DPR sejak 2005, namun selalu gagal. Rancangan undang-undang ini kembali masuk Program Legislasi Nasional 2009-2014, tapi naskah yang diserahkan ke DPR pada 2013 kembali memicu perdebatan publik. Akhirnya diputuskan pembahasan ditunda hingga terpilihnya DPR baru.

Pemerintah, sebagai pihak yang menyiapkan naskah, harus mengkaji benar-benar pasal demi pasal. Dengan demikian, revisi atas KUHP yang merupakan warisan kolonial itu benar-benar mencerminkan politik hukum pidana yang mampu melindungi hak-hak warga negara, kebebasan sipil, dan hak asasi manusia, serta tidak diskriminatif. Pembaruan hukum pidana haruslah mengarah pada hukum pidana modern yang mampu memfasilitasi dan memastikan Indonesia sebagai negara yang demokratis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus