Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Janda dan Ketidakadilan Bahasa

Ketidakadilan bahasa secara sosial langgeng di benak masyarakat kita. Pemakaian kata janda contohnya.

 

18 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ketidakadilan bahasa secara sosial langgeng di benak masyarakat kita.

  • Contohnya bisa dilihat pada pemakaian kata janda.

  • Bahasa yang terekam dalam masyarakat akan terus memelihara stereotipe janda.

URUSANMU dengan Petta Ponggawae telah selesai, tetapi kalau engkau mau berurusan dengan seorang wanita, langkahkanlah kakimu selangkah lagi” (Amir, 2015). Demikianlah kata-kata yang keluar dari bibir We Cenra Datu Cinnong—dengan badik teracung di tangan—saat seorang serdadu Belanda dengan pedang terhunus mendekati jenazah suaminya. We Cenra Datu Cinnong, janda dari Abdul Hamid Petta Ponggawae, digambarkan sebagai sosok berani dalam literatur-literatur mengenai perjuangan rakyat Bone di bawah pemerintahan Raja La Pawawoi Karaeng Segeri saat melawan Belanda di Bone. Sungguh jauh citra tersebut dari kicauan Bima Yudho Saputro di akun TikTok-nya tertanggal 3 April 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kicauan itu tak bisa dilepaskan dari persoalan bahasa yang melekat pada kata janda. Dari judul film, judul lagu, iklan, nama tanaman hias, dan menu makanan, kata janda telah lama dieksploitasi, dijadikan pemantik selera, dan tanpa disadari menyuburkan stigma perempuan tak bersuami dalam bahasa Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di beberapa warung coto di Makassar, misalnya, Anda akan menemukan menu: coto janda hot (akronim dari jantung, daging, hati, otak); janda panas (jantung-daging pakai nasi); haus janda (hati, usus, jantung, daging); lempar janda (lemak, paru, jantung, daging); dan janda baru (jantung, daging, babat, paru). Di beberapa daerah di Sulawesi Selatan juga ada kue janda, dibuat dari singkong, diisi potongan pisang kepok, dikukus, lalu dibaluri kelapa muda parut. Di Bekasi, Jawa Barat, Anda akan menemukan sop janda. Dalam dunia tanaman hias, ada janda bolong (Monstera adansonii) yang menjadi makin populer dan mahal setelah dijadikan suvenir pernikahan putri pejabat kita pada Agustus 2022.

Dalam ranah kreatif, coba ketik janda di kolom pencarian di YouTube. Muncullah puluhan judul lagu perihal janda. Selain judul lagu, ada judul film seperti yang dirangkum Ulfa (2017) berikut: Gara-gara Djanda Muda (1954), Si Janda Kembang (1973), Gara-gara Janda Kaya (1977), Sembilan Janda Genit (1977), Misteri Janda Kembang (1991), Kembalinya Si Janda Kembang (1992), Kutunggu Jandamu (2008), Darah Janda Kolong Wewe (2009), Pelukan Janda Hantu Gerondong (2011), dan Mati Muda di Pelukan Janda (2011). Di Internet pun sebelas-dua belas hasilnya. Masukkan entri janda, kolom pencarian akan dengan sok tahu memberi saran: janda hot, janda gatal, janda kembang, janda liar, janda manja, janda gila seks, janda montok, janda kesepian, janda bahenol, dan janda muda. Tak ada citra positif sama sekali pada deretan judul dan kata tersebut. Berbeda halnya dengan kata duda, yang muncul duda kaya, duda ganteng, dan duda keren. Ketidakadilan bahasa secara sosial langgeng di benak masyarakat kita.

Dalam aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia V, tertera arti kata janda: wanita tidak bersuami lagi karena bercerai ataupun karena ditinggal mati suaminya. KBBI V juga memberi informasi tambahan berupa gabungan kata janda: janda berhias, janda kembang, janda muda, dan janda tebal.

Baik saran mesin pencari maupun gabungan kata yang disajikan aplikasi KBBI V mengingatkan saya pada apa yang dikatakan Collins & Clement (2012) dalam tulisannya yang berjudul Language and Prejudice: Direct and Moderated Effects mengenai peran krusial bahasa dalam mempertahankan stereotipe sosial. Penelitian Burgers & Beukeboom (2020) perihal kontribusi bahasa dalam formasi stereotipe memperkuat temuan Collins & Clement tersebut. Bahasa yang terekam dalam masyarakat akan terus memelihara stereotipe janda.

Tulisan Creese dan Parker (2016), The Stigmatisation of Widows and Divorcees (Janda) in Indonesian Society, menghadirkan kenyataan tak kalah menyedihkan. Kemalangan bagi seorang perempuan hanya dimaknai sejenak pada hari ketika sang suami berpulang atau saat putusan cerai difinalkan. Sunarsih (2020) bahkan menemukan stigma janda sebagai aktor perbuatan asusila, butuh lelaki, dan aktor yang disantuni dalam 23 judul pemberitaan daring selama masa pandemi Covid-19 di Indonesia.

Jadi, bukan salah Bima sepenuhnya berkicau dan menyebut-nyebut kata janda. Kicauan itu hanya bukti bahwa kita sudah lama permisif dengan janda shaming. Saking permisifnya, kita bisa menikmati lagu “Pantun Janda” sambil tak sadar bersenandung ada janda ada janda mati lakinya, mau dilamar mau dilamar banyak anaknya, bergoyang mengikuti Ayu Ting Ting di YouTube. Kisah janda pemberani dalam manuskrip kuno pun tidak lagi berpengaruh apa-apa, tenggelam dalam pencarian jejak digital.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Janda"

Darmawati M.R.

Darmawati M.R.

Peneliti pada Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas BRIN
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus