Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kemenduaan dalam KBBI perlu dan bisa segera disudahi.
Contohnya penggunaan kata majemuk pintu kereta.
Contoh lain adalah pemakaian kata cape-capai, prei-perai, reak-riak, dan konde-kundai.
ADIK saya di mobil depan menelepon, “Mas, tampaknya jarak kita kelewat berjauhan. Nanti kami tunggu di depan, di pintu kereta, ya?” Bagaimana bisa ia, bersama rombongan kecil di mobilnya, menunggu di pintu itu. Sebab, pintu kereta pastilah menempel jadi satu dengan tiap-tiap gerbong kereta api.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti mendengar gumam saya, keponakan yang duduk di sebelah mengatakan pintu kereta yang dimaksud itu bukanlah pintu untuk masuk ke atau keluar dari gerbong kereta, melainkan “pintu pelintasan kereta”. Dan benar saja. Di tepi jalan raya di muka “pintu kereta” di Jalan Pramuka, terlihat adik saya di samping mobilnya melambai-lambaikan tangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pintu kereta. Jangan tergesa-gesa menuduh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) alpa mencantumkannya manakala Anda agak payah menemukannya. Letaknya agak tersembunyi, maka perlu sedikit lebih ulet mencarinya.
Sudah sejak edisi I (1988), II (1991), III (2001), IV (2008), hingga edisi terakhir (V, 2017, termasuk versi daring yang terakhir dimutakhirkan pada Oktober 2022) KBBI menyajikannya bukan sebagai sublema “pintu”—sebuah cara yang lazim dalam penataan isi kamus demi memudahkan pengguna mencari sebuah kata atau ungkapan. Letaknya di semua edisi KBBI tadi agak tersamar. Ia tidak berdiri sendiri, melainkan dalam contoh kalimat dari arti keempat lema “pintu”.
Di semua edisi KBBI kita baca rumusan yang sama belaka: palang (pada) jalan: rumah kira-kira persis 50 m dari -- kereta api. Kita bandingkan dengan penyajian oleh Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) W.J.S. Poerwadarminta (dalam arti kelima lema “pintu”) seperti ini: palang pd jalan yg melintasi jalan kereta api: mis. rumahnya tak jauh dari -- kereta api Cikini (Kamus Umum Bahasa Indonesia, cetakan keempat, 1966).
Status “pintu kereta” yang bukan unit makna sendiri saya kira bermula dari khilaf KUBI, tapi terus dikutip mentah-mentah oleh KBBI. Paragraf di atas perlu segera kita susulkan dengan dua catatan berikut ini. Pertama, “palang (pada) jalan” bukanlah definisi yang tepat untuk “pintu kereta”. Akses di banyak perumahan juga tidak sedikit yang diberi palang, bahkan sampai jalan-jalan lebih kecil di dalam kompleks. Palang itu biasanya berupa sebatang besi—lazim disebut portal—dan di sisi seberangnya tidak selalu ada rel kereta api yang membentang arah sejajar palang. Dalam definisi KUBI ada unsur tambahan penting: “yg melintasi jalan kereta api”. Rumusan ini jelas lebih tegas dan lebih akurat daripada rumusan KBBI.
Kedua, menyangkut struktur kalimat contoh. Tercekat sebentar saya membaca kalimat contoh seperti begitu dalam KBBI—sebuah buku rujukan primer bahasa Indonesia. Bukan saja ia tidak punya predikat, tapi juga subyeknya tidak bertakrif, alias tak tentu. Itu rumah apa, atau rumah siapa? Kita lihat subyek pada kalimat contoh KUBI lebih spesifik, bukan hanya “rumah”, melainkan “rumahnya”.
Catatan di atas implisit mengatakan, satu orang Poerwadarminta lebih cakap dan cermat daripada satu tim besar yang mengeroyok penyusunan tiap edisi KBBI. Lihatlah, perumusan sublema “pintu kereta” yang sedikit berbeda itu memberi kesan kuat semata didorong hasrat menghindar dari anggapan sekadar menyalin tanpa pikir panjang, tanpa sikap kritis. Boleh jadi juga tidak disadari bahwa perbuatan sengaja mengubah itu malah membawa implikasi menyeleweng dari segi tata bahasa.
Mulai KBBI edisi IV, penyajian kata majemuk ini mengalami pengubahan (bukan penyempurnaan) yang boleh dibilang unik. Baik dalam edisi IV maupun V bentuk “pintu kereta” masih tercatat dengan cara serupa. Tapi, pada saat yang sama, dua edisi terkemudian itu menambahkan bentuk “pintu pelintasan kereta api” di bawah lema “pintu”. Gabungan kata ini dirumuskan dengan lebih baik: pintu yang terdapat di persilangan antara jalan raya dan rel kereta api dengan atau tanpa penutup.
Sebutan “pintu kereta” yang seolah-olah dikoreksi menjadi “pintu pelintasan kereta api” tidak membatalkan bentuk yang pertama. Tidak membatalkan, sebab ia tetap tercatat dalam KBBI dan hidup di tengah penutur (dalam bentuk elipsis). Jadi kita mendapati sekaligus dua bentuk “pintu kereta” ataupun “pintu pelintasan kereta api”, dan keduanya merujuk pada referen yang sama belaka.
Kemenduaan seperti itu seolah-olah melanggengkan sembari mengeraskan sebuah ambisi tampil “asal lebih tambun” dari edisi terdahulu. Saya teringat—ini sekadar sekelumit contoh—beberapa pasang varian bentuk (“cape-capai”, “prei-perai”, “reak-riak”, serta “konde-kundai”) yang dengan serakah masih diborong masuk ke dalam baik edisi IV maupun V tanpa rujuk silang (lihat “Jumlah Dahulu, Mutu Nanti Dulu” dalam Tempo, 25 Februari 2018).
Kemenduaan dalam KBBI perlu dan bisa segera disudahi. Dalam hal “pintu kereta”, misalnya, dapat dengan menyisihkan arti keempat “pintu”. Ini mengingat, tadi sudah saya singgung, rumusannya lebih cocok untuk lema “portal”. Sublema “pintu kereta api” dapat ditambahkan tapi kemudian dirujukkan ke “pintu pelintasan kereta api”.
Ikhtiar sederhana begitu barangkali lebih patut ditimbang daripada melanggengkan ambisi tampil lebih tambun.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo