Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
DPR berinisiatif menyusun RUU Kesehatan Ibu dan Anak yang terkesan progresif.
Di balik pasal-pasalnya yang pro kesetaraan gender ada bahasa mengintai pada kesetaraan gender.
Dalam komunitas yang tak siap, aturan bisa jadi macan ompong.
MESKI sekilas terkesan progresif, sejumlah bagian dalam Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) perlu dicermati dengan hati-hati. Jangan sampai sebuah regulasi yang hendak memastikan pemenuhan hak maternitas ibu dan anak justru mendomestikasi peran perempuan dan hanya jadi macan ompong di lapangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak, yang akan disahkan sebagai RUU inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat pada Kamis, 30 Juni 2022, memang memberi sejumlah keistimewaan untuk pekerja perempuan yang melahirkan, menyusui, atau mengalami keguguran. Perempuan yang melahirkan mendapat cuti enam bulan, dua kali lipat dibanding aturan yang dimuat dalam Undang-Undang Tenaga Kerja. Sedangkan suaminya beroleh jatah 40 hari cuti. Jika mengalami keguguran, pekerja perempuan berhak cuti satu setengah bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejatinya pemberian cuti enam bulan untuk pekerja perempuan yang melahirkan sudah jadi standar internasional. Hasil riset 22 peneliti Indonesia yang dimuat di jurnal BioMed Central pada November 2018 menunjukkan bahwa cuti enam bulan meningkatkan keberhasilan pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif delapan kali lipat. ASI eksklusif penting untuk meningkatkan inteligensi, menjaga ketahanan tubuh bayi dari berbagai penyakit, dan menurunkan angka kematian anak.
Di sisi lain, DPR perlu memastikan aturan progresif itu tidak justru menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan. Jangan sampai aturan ini mendorong perusahaan memilih mempekerjakan laki-laki ketimbang perempuan. Dampak yang tak diinginkan (unintended consequences) semacam itu bisa terjadi meski sudah diatur bahwa gaji 100 persen hanya dibayarkan pada tiga bulan pertama dan turun menjadi 75 persen setelahnya.
Untuk itu, hasil riset yang menemukan bahwa produktivitas pekerja perempuan yang cuti enam bulan umumnya meningkat perlu ditonjolkan untuk menangkis keberatan para pengusaha. Setelah kembali bekerja, pekerja perempuan nyaris tak pernah absen karena bayinya lebih sehat. Pemberian cuti 40 hari untuk pria yang mendampingi istri melahirkan juga berpengaruh positif terhadap peningkatan produktivitas dan tanggung jawab terhadap pekerjaan. Artinya, perusahaan ikut menikmati manfaat dalam jangka panjang.
DPR dan pemerintah tak perlu surut langkah meski sejumlah pengusaha berancang-ancang menolak aturan ini. Pemerintah bisa memasukkan pasal yang mengatur agar pemberitahuan cuti hamil dilakukan beberapa bulan sebelumnya agar perusahaan bisa menyiapkan pengganti sementara atau mengatur beban kerja.
Keberatan lain yang muncul adalah potensi domestikasi peran perempuan melalui pengesahan aturan ini. Ada kekhawatiran peran menjaga tumbuh kembang anak dibebankan semata-mata di pundak para perempuan. Padahal idealnya itu merupakan tanggung jawab bersama ayah-bundanya. Pembagian peran gender secara tradisional semacam itu bisa jadi langkah mundur untuk gerakan perempuan di Indonesia.
Pemerintah dan DPR juga harus memastikan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak nantinya bisa berjalan efektif di lapangan. Jangan sampai aturan ini hanya menjadi gula-gula politik untuk mengambil hati kaum pekerja. Kegagalan Undang-Undang Penyandang Disabilitas yang hingga kini belum bisa memaksa perusahaan swasta mempekerjakan paling sedikit 1 persen penyandang disabilitas harus jadi pelajaran penting.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo