Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRABOWO Subianto sudah hampir pasti bakal menjabat Presiden RI periode 2024-2029. Hasil ini menguatkan kerisauan publik, baik karena berbagai dugaan pelanggaran dalam pelaksanaan pemilihan presiden maupun tanda tanya mengenai demokrasi Indonesia dalam lima tahun ke depan. Kecemasan juga dirasakan para penganjur transisi energi. Hasil Pemilihan Umum 2024 menggambarkan kebijakan Presiden Joko Widodo dalam hal transisi energi—yang gagal masuk jalur tepat—akan berlanjut pada era Prabowo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di bawah kepemimpinan Jokowi, pemerintah memang membuat beberapa komitmen ihwal aksi iklim dan transisi energi. Namun masih ada kesenjangan dalam pemenuhan komitmen tersebut. Kenyataan bahwa Jokowi tidak konsisten menerapkan kebijakan transisi energi memberikan sinyal kepada publik dan pasar bahwa Indonesia belum serius beralih dari energi fosil ke energi bersih dan terbarukan. Lebih jauh lagi, pemerintahan Jokowi sering membuat sejumlah kebijakan energi yang kontradiktif satu sama lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa kontradiksi itu di antaranya terlihat dalam Just Energy Transition Partnership (JETP). Berdasarkan kesepakatan yang tercapai dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 pada November 2022 itu, Indonesia memperoleh komitmen pendanaan sebesar US$ 20 miliar dari International Partners Group untuk mempercepat transisi energi Indonesia. Kemudian menyusul peluncuran Comprehensive Investment and Policy Plan JETP pada akhir 2023. JETP memiliki sejumlah target ambisius, termasuk mempercepat pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dan meningkatkan target energi terbarukan menjadi 44 persen pada 2030.
Dengan target itu, JETP diharapkan menjadi game changer untuk mengakhiri ketergantungan pada energi fosil. Namun, dalam KTT G20 di India setahun setelahnya, pemerintah Indonesia justru menolak kesepakatan peningkatan kapasitas energi terbarukan yang nilainya lebih besar tiga kali lipat. Penolakan juga terjadi dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-28 (COP28), ketika pemerintah Indonesia menolak mendukung Komitmen Global Energi Terbarukan dan Efisiensi Energi yang disepakati 123 negara. Sikap tersebut jelas sangat ganjil, mengingat Indonesia harus meningkatkan kapasitas energi terbarukan sebesar tiga kali lipat lebih dari kondisi saat ini yang baru 13,1 persen.
Kontradiksi berikutnya tampak dalam rencana Dewan Energi Nasional menurunkan target bauran energi terbarukan menjadi hanya 17-19 persen pada 2025. Lebih rendah dari target sebelumnya dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang sebesar 23 persen. Perubahan ini sangat mendadak karena dilakukan satu tahun sebelum tenggat pencapaian. Penurunan target ini jelas-jelas sebuah kemunduran dalam komitmen iklim Indonesia dan bertentangan dengan Perjanjian Paris yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016.
Penurunan target tersebut makin menunjukkan pemerintah Indonesia bersikap setengah hati dalam transisi energi. Posisi Indonesia pun kian menjauh dari tren global, di mana pertumbuhan energi terbarukan pada 2023 meningkat 50 persen dibanding pada tahun sebelumnya. Bahkan, dibanding target ASEAN, Indonesia bakal tertinggal jauh untuk mencapai 23 persen energi terbarukan pada 2025.
Salah satu alasan penurunan target tersebut adalah keterbatasan ruang pengembangan energi terbarukan di tengah ekspansi energi fosil yang terus berlanjut, bahkan secara besar-besaran. Sebagai contoh, pembangunan PLTU batu bara terus dilakukan di tengah kelebihan pasokan listrik. Ironisnya, hal itu dilakukan di Jawa-Bali yang sudah kelebihan pasokan hingga 40 persen. Sudah selayaknya pemerintah membatalkan penambahan PLTU batu bara baru dalam proyek 35 ribu Megawatt sehingga beban keuangan negara akan berkurang.
Masih Bergantung pada Energi Fosil
Dalam RUPTL 2021-2030 PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), pemerintah masih berencana membangun PLTU batu bara baru sebesar 13,8 Gigawatt. Angka ini belum termasuk penambahan PLTU batu bara captive baru sebesar 9,7 Gigawatt, yang sebagian besarnya akan dibangun di Sulawesi dan Maluku. Jumlah penambahan ini tak sebanding dengan rencana pensiun dini PLTU batu bara dalam JETP yang hanya 1,7 Gigawatt. Pembangunan PLTU baru dalam dekade ini juga bertentangan dengan rekomendasi Intergovernmental Panel on Climate Change kepada sejumlah negara untuk mencapai puncak emisi gas rumah kaca (GRK) sebelum 2025, kemudian menurun separuhnya pada 2030 agar sejalan dengan Perjanjian Paris.
Masih banyak kebijakan lain yang makin mendukung ketergantungan Indonesia pada batu bara. Berdasarkan studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia serta Greenpeace Indonesia, terdapat banyak kebijakan pro-batu bara yang dibuat selama masa pemerintahan Jokowi. Kebijakan itu di antaranya royalti nol persen untuk perusahaan batu bara dalam Undang-Undang Cipta Kerja, serta berbagai kebijakan fiskal pro-energi fosil melalui subsidi dan kompensasi energi yang melebihi Rp 500 triliun pada 2022.
Pada saat yang sama, pemerintah mempromosikan gas fosil sebagai "bahan bakar transisi" secara besar-besaran. Hal ini sangat membahayakan komitmen iklim Indonesia karena gas fosil mengeluarkan gas metana—salah satu GRK dengan potensi pemanasan global 23 kali lebih kuat daripada karbon dioksida. Kebijakan mendorong gas fosil akan melahirkan biaya krisis iklim yang mahal bagi Indonesia dan membuat kita terkunci dengan emisi karbon hingga 20-40 tahun. Selain itu, harga gas fosil jauh lebih mahal ketimbang energi terbarukan, terlebih ketika harga energi surya telah turun 85 persen dalam sepuluh tahun terakhir. Ketergantungan pada gas fosil akan merusak ketahanan dan akses energi Indonesia karena volatilitas harganya di pasar global.
Dukungan pemerintahan Jokowi terhadap energi fosil tidak berakhir di situ. Melalui Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon (carbon capture and storage atau CCS), pemerintah berencana menggunakan CCS pada fasilitas minyak dan gas fosil untuk memperpanjang era energi fosil di Indonesia. Pada kenyataannya, CCS bukanlah solusi yang layak untuk memitigasi krisis iklim, baik secara ekonomi maupun teknis.
Menurut analisis Institute for Energy Economics and Financial Analysis, CCS merupakan teknologi yang belum terbukti mengurangi emisi GRK dalam jumlah besar. Kalaupun bisa, hanya akan mewakili 2,4 persen dari upaya pengurangan GRK global. Selain itu, biaya CCS sangat mahal, dengan proyeksi kebutuhan pendanaan penerapan CCS pada PLTU batu bara bisa mencapai US$ 700 miliar atau sekitar Rp 10,714 triliun. Pendanaan sebesar itu seharusnya digunakan untuk pengembangan energi terbarukan dan efisiensi energi sebagai upaya mitigasi krisis iklim yang terbukti efektif.
Menjelang akhir pemerintahan Jokowi, kebijakan transisi energi mengalami disorientasi besar-besaran. Hal penting dan mendesak saat ini adalah membuat Indonesia berada pada jalur yang tepat untuk transisi energi. Secara konseptual, upaya itu harus dilakukan melalui beberapa kebijakan. Pertama, pemerintahan baru harus menghentikan ekspansi energi fosil untuk memberikan ruang bagi energi terbarukan. Kedua, hal tersebut harus disertai dukungan kebijakan fiskal yang mendukung energi terbarukan agar dapat bersaing dengan energi fosil. Dukungan itu dapat berupa pemberian insentif bagi energi terbarukan dan disinsentif untuk energi fosil.
Dengan posisi Prabowo yang diperkirakan hanya melanjutkan kebijakan Jokowi, kita harus mengantisipasi "Kebijakan Energi Jokowi 2.0" dalam lima tahun ke depan. Apalagi dengan fakta miskinnya visi dan misi Prabowo untuk mempercepat transisi energi dari energi fosil ke energi bersih dan terbarukan. Dengan realitas seperti ini, prospek transisi energi dan aksi iklim Indonesia sangat suram dalam lima tahun ke depan.
Apakah kita harus pesimistis? Persoalannya, kita tidak punya pilihan selain terus mendorong percepatan transisi energi berkeadilan melalui kebijakan transformatif demi mengatasi risiko krisis iklim serta memastikan ketahanan dan akses energi. Membiarkan "Kebijakan Energi Jokowi 2.0" bakal memunculkan ongkos yang terlampau mahal bagi masa depan Indonesia.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.