Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Menagih Janji Jonan

Insiden jatuhnya pesawat Trigana Air Service di Kabupaten Oksibil, Papua, yang menewaskan 54 orang sekali lagi membuka borok industri penerbangan kita. Selama ini penerbangan dengan rute daerah terpencil cenderung tak terawasi dengan baik.

20 Agustus 2015 | 23.35 WIB

Menagih Janji Jonan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Insiden jatuhnya pesawat Trigana Air Service di Kabupaten Oksibil, Papua, yang menewaskan 54 orang sekali lagi membuka borok industri penerbangan kita. Selama ini penerbangan dengan rute daerah terpencil cenderung tak terawasi dengan baik.

Kekacauan dalam insiden Trigana pada 16 Agustus lalu itu terlihat dari simpang-siurnya data manifes penumpang Trigana. Ada nama-nama yang tidak terbang tapi dikabarkan menjadi korban, lantaran tercantum dalam daftar. Tiga staf Indonesia Mengajar, yakni Hikmat Darsono, Yundriati Ardani, dan Susilo, sempat diwartakan meninggal. Ternyata ketiganya urung berangkat karena tak mendapatkan tiket penerbangan sebelumnya, yaitu Jakarta-Jayapura.

Ruwetnya data itu juga terjadi pada penumpang bernama Dewa Putu Raka. Raka sebenarnya tak berangkat, tapi anehnya namanya masuk daftar penumpang. Kok bisa? Setelah diusut, baru diketahui: rupanya tiket itu dipakai kawan sekantor Raka. Mengapa pihak Bandara juga meloloskan praktek seperti itu? Data penumpang adalah hal serius sehingga, bila semrawut, maka inilah potret buram pengelolaan industri penerbangan kita. Padahal, baru Januari lalu Menteri Perhubungan Ignasius Jonan berjanji akan meningkatkan pengawasan industri penerbangan. Janji itu disampaikan setelah terkuaknya permainan perizinan, yang terbongkar setelah jatuhnya pesawat AirAsia pada 28 Desember silam. Jonan pun membekukan jadwal terbang beberapa maskapai dan memutasikan pejabat Kementerian Perhubungan yang nakal.

Radar pengawasan Kementerian Perhubungan sudah seharusnya diluaskan. Mereka jangan cuma mengurus maskapai besar semata. Pengawasan terhadap maskapai-maskapai kecil yang menerbangi daerah-daerah perintis juga harus ditingkatkan.

Soal keselamatan penerbangan jelas tak bisa ditawar-tawar. Angka kecelakaan pesawat di Papua seharusnya membuat pemerintah miris. Sejak 2011, telah terjadi enam kecelakaan pesawat, termasuk dua kecelakaan dalam tahun ini. Sebelum petaka Trigana, pada 12 Agustus 2015 juga terjadi kecelakaan pesawat Cessna milik maskapai Komala Air. Dalam kecelakaan itu, satu orang meninggal setelah pesawat menabrak bukit di ujung landasan. Bila dihitung sejak 2000, kecelakaan pesawat di Papua sudah menelan korban lebih dari 100 orang.

Mengurus keselamatan transportasi memang bukan pekerjaan mudah. Justru di sinilah peran yang diharapkan dari Jonan. Mantan Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia itu sukses membenahi industri kereta-meningkatkan kualitas layanan sekaligus menurunkan angka kecelakaan. Hal serupa semestinya bisa dia lakukan di industri penerbangan.

Jonan seharusnya bertindak tegas kepada anak buahnya sehingga mereka tak mudah mempermainkan izin ataupun regulasi keselamatan terbang. Keselamatan penerbangan kita sudah gawat darurat. Sejak 2007, keselamatan penerbangan Indonesia turun kelas ke kategori 2 gara-gara regulator tak menaati standar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Jonan tak boleh hanya duduk santai seolah tak ada apa-apa. Publik bakal menagih janjinya, yang menargetkan Indonesia tahun ini "naik kelas" masuk kategori 1 dalam soal keselamatan penerbangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus