Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komaruddin Hidayat
DALAM perspektif Marxian, terorisme merupakan perlawanan terakhir dari kelas yang tertindas ketika perjuangan politis mengalami jalan buntu. Namun, kalau kita cermati, dalam tiga tahun terakhir ini wacana terorisme mengalami perkembangan baru. Sebelumnya, terorisme selalu diposisikan sebagai akibat dari agresivitas dan arogansi kapitalisme Barat terhadap bangsa-bangsa yang lemah, tapi sekarang ada variabel baru yang dikaitkan dengannya, yaitu ideologi dan identitas keagamaan.
Ketika sekelompok umat Islam merasa tertindas dan dijajah Barat yang bukan muslim, baik secara fisik maupun politik, perlawanan yang muncul tidak semata merupakan agenda perjuangan kelas, tapi juga melibatkan emosi dan keyakinan agama. Bahwa bangkit melawan orang kafir yang menindas itu merupakan tindakan suci dan mulia. Karena itu ”bunuh diri” demi agama diyakini syahid dan jalan pintas untuk meraih surga yang jauh lebih menggiurkan ketimbang nasib di dunia yang terhina dan menderita.
Bagi orang yang beriman, kematian itu hanyalah sebuah peralihan zona hidup, tapi bukan ketiadaan dan akhir kehidupan. Ketika kini hidupnya merasa terhina, tidak beruntung, dan mereka yakini sumber penderitaannya adalah akibat kezaliman orang kafir, melawan mereka dengan risiko kematian merupakan jalan suci dan mulia untuk mengakhiri derita dunia, lalu pindah ke surga. Secara psikologis para teroris itu telah melakukan transendensi ideologi perjuangan untuk mewujudkan classless society versi Marx yang bersifat historis berubah menjadi jihad untuk meraih kehidupan surgawi yang bersifat metafisis-transhistoris.
Akar penyebab peristiwa teror yang terjadi di Indonesia rasanya sulit dilepaskan dari pengaruh dan mata rantai gerakan teror yang semula terjadi pada tataran global yang kemudian beralih ke wilayah regional. Wilayah seputar Palestina dan Afganistan yang merupakan zona konflik penuh teror akibat persaingan global rupanya telah melahirkan veteran pejuang Afganistan—dan Mindanao—yang kemudian beraksi di Indonesia. Mengapa mereka memindahkan front terorisme ke wilayah Indonesia? Yang juga membuat kesal, mengapa biang teroris warga Malaysia membuat kekacauan di Indonesia?
Begitu banyak analisis untuk menjawab pertanyaan ini. Di antaranya adalah masih berlangsungnya penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan negara kuat terhadap yang lemah. Kondisi ini ditambah lagi oleh lemahnya posisi negara pasca-reformasi yang membuka peluang begitu luas bagi munculnya wacana dan gerakan radikal yang sulit dibayangkan bisa muncul selama Orde Baru. Berbagai kekecewaan dan kemarahan rakyat yang terpendam selama Orde Baru kini memperoleh momentum untuk tampil ke permukaan dengan suara garang, ekstrem, dan kadang mengejutkan. Fenomena ini bisa disebut delayed psychological response.
Sekelompok orang yang dahulu merasa tertindas dan marah terhadap pemerintahan Orde Baru sekarang tampil memuntahkan kemarahan dan aspirasi politiknya dengan berbagai cara. Ada yang mendirikan partai politik, ormas, dan ada yang diam-diam bergerak di bawah tanah. Orang-orang Indonesia yang pernah ikut bergerilya di Afganistan dan Mindanao kini menularkan paham ideologinya dan membagi keterampilan merakit senjata.
Di antara mereka ini ada yang merasa sangat kecewa karena tidak memperoleh penghargaan dan akomodasi politis-ekonomis ketika euforia reformasi berlangsung. Padahal mereka menganggap dirinya telah berjuang melawan kekuatan Uni Soviet yang komunis dan Barat yang imperialis. Psikologi mereka ini persis seperti film Rambo yang menjadi tokoh legendaris AS ketika perang di Vietnam, namun ketika kembali ke negaranya tidak memperoleh pengakuan dan penghargaan dari negara dan masyarakatnya sehingga dia mengamuk dan menghanguskan kota.
Jadi, berbagai akar penyebab terorisme yang muncul di Indonesia tampaknya semakin bercabang dan beranting. Ada lima faktor utama yang membuka peluang bagi gerakan teror. Yaitu lemahnya pemerintahan, kehidupan ekonomi rakyat yang tidak semakin baik, serta arogansi dan penindasan Barat terhadap dunia Islam yang masih berlangsung. Dua faktor lainnya adalah pemahaman agama yang eksklusif serta terdapatnya tokoh-tokoh yang tercampakkan akibat tidak terakomodasi dalam proses politik dan ekonomi. Mereka yang merasa hidup tanpa identitas dan tidak memiliki posisi sosial ini menjadi sasaran empuk bagi gembong teroris semacam Azahari untuk membangun sebuah komunitas baru yang militan dan menjanjikan kehidupan baru di alam surgawi dengan jalan pintas.
Tentu saja kita mesti membedakan motif gerakan yang diambil Usamah bin Ladin dan Azahari, yang memiliki posisi sosial-ekonomi mapan, dan beberapa teroris Indonesia yang dari segi pendidikan dan ekonomi tidak jelas. Namun satu hal yang sama adalah semuanya merasa mewakili pihak yang kalah dan teraniaya sehingga terpanggil untuk melawan. Mereka merasa yakin sebagai pembela Tuhan yang berdiri paling depan dan paling siap berkorban dengan harta, tenaga, dan nyawa. Kekuatan, keyakinan, dan kenekatan seperti ini tak akan gentar menghadapi senjata Barat secanggih apa pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo