Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
INILAH ironi zaman ketika orang mudah berkomunikasi: publik kurang mengenali calon wakil rakyat. Penyelenggara pemilihan umum kurang memanfaatkan teknologi digital untuk memperkenalkan calon anggota legislatif. Partai politik pun masih mengidap penyakit lama: tidak transparan dalam proses rekrutmen dan kurang peduli terhadap reputasi calon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Urusan mencari “orang baik” yang akan mengisi Dewan Perwakilan Rakyat makin terabaikan karena perhatian khalayak tersedot pada pemilihan presiden. Pemilu serentak menyebabkan kontestasi calon wakil rakyat terpinggirkan. Padahal peran legislatif tak kalah penting dibanding eksekutif. Kekuasaan DPR cukup besar karena memiliki fungsi legislasi dan budgeting. Dewan bahkan mengawasi jalannya roda pemerintahan sehari-hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Di tengah situasi itulah Tempo berikhtiar menampilkan calon anggota legislatif pilihan. Tim kami menyaring 7.968 calon anggota DPR yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum. Kebersediaan calon membuka rekam jejak menjadi saringan awal. Kami kemudian menyeleksi lagi lewat sejumlah kriteria, dari integritas hingga kepedulian terhadap persoalan yang penting bagi masyarakat.
Melalui penyaringan dan pengecekan rekam jejak, muncul calon pilihan yang kami sajikan dalam laporan khusus. Mereka adalah Anggiasari Puji Aryatie (Partai NasDem), Firliana Purwanti (Partai Demokrat), Zuhairi Misrawi (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), Azmi (Partai Solidaritas Indonesia), Surya Tjandra (Partai Solidaritas Indonesia), dan Aleta Kornelia Baun (Partai Kebangkitan Bangsa).
Figur-figur pilihan itu peduli terhadap isu yang berbeda-beda. Anggiasari, yang berlaga di daerah pemilihan Yogyakarta, misalnya, dikenal sebagai pembela kaum disabilitas dan kesetaraan gender. Firliana, yang bertarung di Kalimantan Barat, tekun menyuarakan kepentingan kaum perempuan. Empat calon lain pun mempunyai kelebihan masing-masing, dari memperjuangkan soal buruh hingga pluralisme.
Harus diakui, tidak mudah mencari “orang baik” sekaligus berkualitas dari ribuan calon legislator. Kesulitan ini sekaligus menggambarkan buruknya proses rekrutmen partai politik. Dalam menjaring calon wakil rakyat, partai cenderung mengutamakan loyalitas. Pola transaksional dalam merekrut calon masih terjadi di banyak partai. Praktik nepotisme pun tetap subur. Banyak petinggi partai yang memasang anggota keluarga dan kerabat sebagai calon wakil rakyat.
Semua penyakit itu kurang mendapat sorotan publik karena tenggelam oleh isu seputar pemilihan presiden. Inilah efek samping dari pelaksanaan pemilu serentak. Boleh jadi, biaya perhelatan demokrasi menjadi lebih efisien, tapi terjadi komplikasi. Partai politik harus memenangkan calon presiden yang diusung sekaligus membesarkan suara partaidua kepentingan yang kadang sulit disatukan. DPR dan pemerintah perlu mengkaji serius masalah ini demi memperbaiki kualitas demokrasi pada masa mendatang.
Para calon wakil rakyat makin tenggelam karena KPU juga kurang sigap memanfaatkan teknologi digital untuk menampilkan biodata dan rekam jejak mereka. Tanpa harus menabrak privasi, komisi ini sebetulnya bisa mewajibkan calon membuka biodata secara lengkap, seperti usia, pendidikan, pengalaman, dan visi-misi. Adapun data dan dokumen yang sangat pribadi bisa disembunyikan buat menghindari penyalahgunaan.
Komisi Pemilihan tak perlu menyerahkan opsi membuka atau menutup data kepada calon anggota legislatif seperti yang terjadi sekarang, yang berakibat sebagian calon memilih opsi menutup data pribadi. Publik juga makin sulit mencari calon anggota legislatif di daerah pemilihannya karena aplikasi buatan KPU kurang praktis.
Aplikasi yang bagus justru disediakan sejumlah lembaga masyarakat yang memanfaatkan data KPU. Aplikasi seperti Rekamjejak, Pintarmemilih, dan Calegpedia sangat membantu pemilih mengetahui data calon legislator di wilayah masing-masing secara cepat. Hanya, pelayanan sejumlah aplikasi itu juga kurang maksimal karena data yang disediakan Komisi Pemilihan kurang lengkap. Anehnya, kalangan partai politik pun bersikap pasif: tidak menyediakan rekam jejak calon anggota legislatif yang mereka tawarkan ke masyarakat.
Demokrasi akan lebih berkualitas jika partai politik mau membenahi diri. Tak hanya bersikap transparan, partai harus pula memerangi nepotisme dan politik transaksional dalam rekrutmen calon anggota legislatif. Untuk meningkatkan mutu pemilu, partai politik semestinya mempromosikan figur seperti Anggiasari dan kawan-kawan.