Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DAGING sapi kini masih menjadi barang mahal bagi sebagian besar masyarakat. Hal ini bisa diukur dari sangat rendahnya tingkat konsumsi daging per kapita penduduk Indonesia. Tahun lalu, tingkat konsumsinya hanya tujuh kilogram per tahun, jauh di bawah Malaysia sebanyak 59 kilogram, Singapura 41,5 kilogram, dan Filipina 13 kilogram.
Bolehlah kalau pemerintah mencanangkan program swasembada daging. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sejak Juni 2005, menempatkan misi ini dalam program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan yang harus kelar pada 2010. Sayang sekali, target itu tak tercapai. Menteri Pertanian Suswono lalu memasang target baru: swasembada daging bisa terlaksana pada 2014.
Tak jelas mengapa targetnya dipatok seiring dengan akhir masa jabatan Presiden Yudhoyono. Yang jelas, sebagai tindak lanjut, Kementerian Pertanian melahirkan kebijakan baru, yakni pengurangan kuota impor daging sapi. Tujuannya agar peternak lokal bisa meningkatkan produksinya untuk mengisi kebutuhan pasar domestik. Karena tak didukung data sahih, beleid itu ramai-ramai diprotes importir. Celakanya, Kementerian mengalah seraya menjanjikan pengkajian menyeluruh.
Faktanya memang peternak lokal gagal memenuhi pasar domestik. Lantaran permintaan membeludak dan harga tinggi, mereka malah tergiur, lalu berlomba-lomba memotong sapi betina produktif. Jika kuota terus dikurangi tanpa penghitungan masak dan program penambahan populasi sapi lokal, dampaknya makin gawat. Populasi sapi potong terus menurun. Pada 1998, populasi sapi masih 12,8 juta ekor, tapi pada 2008 tinggal 10,2 juta ekor. Artinya, rasio sapi dengan penduduk cuma 0,049 ekor per orang, jauh di bawah Brasil, 1,75 ekor per orang.
Padahal kebutuhan daging sapi terus meningkat. Kamar Dagang dan Industri Indonesia mencatat kebutuhan domestik mencapai 350-400 ribu ton, setara dengan 1,7-2,2 juta ekor sapi potong. Tapi sapi yang dilahirkan peternak dalam negeri hanya 1,5 juta ekor per tahun. Kekurangan ini harus dijawab dengan mengimpor daging. Angka impor yang optimal hanya bisa ditentukan dari data sensus sapi—ironisnya, sampai kini belum ada data yang sahih.
Kekurangan daging harus segara diatasi. Masalahnya, sudah rahasia umum bahwa kebutuhan ini hanya bisa dipasok segelintir pengimpor daging yang khusus mendatangkan daging dari Australia dan Selandia Baru. Persaingan tak sehat yang dilakukan melalui kartel importir ini akhirnya mempersempit pasar daging. Mereka sangat berperan dalam menentukan pasokan dan harga. Buntutnya, harga daging tetap tinggi dan susah dijangkau.
Permainan kartel ini tampak ketika muncul penolakan terhadap rencana masuknya daging dari Brasil dan Argentina, yang menawarkan harga lebih murah. Kampanye hitam dilontarkan: daging dari dua negara Amerika Latin itu mengandung penyakit kuku dan mulut seperti dilegitimasi oleh pemerintah. Padahal Organisasi Kesehatan Hewan Dunia menyebutkan tidak semua daging dari Brasil mengandung penyakit kuku dan mulut. Atas dasar rekomendasi ini, negara-negara Arab mengimpor daging dari dua negara itu.
Selain penentuan angka yang klop untuk kuota impor daging, dari mana datangnya daging juga tak boleh dibatasi. Keran impor harus direformasi, sehingga membuka peluang masuknya sapi Brasil, Argentina, bahkan India. Data sahih ihwal kemampuan peternak lokal memenuhi kebutuhan daging dalam negeri perlu dicari. Menyehatkan mekanisme pasar daging juga kudu diprioritaskan. Tanpa tindakan itu, swasembada daging hanya kembali menjadi target di atas kertas belaka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo