Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Idul Rishan
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Suara keras Fraksi Partai Demokrat terhadap skandal Jiwasraya semakin tajam ke arah pembentukan panitia khusus hak angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Intensitas tekanan itu menguat setelah perusahaan pelat merah tersebut diperkirakan mengalami kerugian fantastis lebih dari Rp 10 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Upaya Demokrat menggulirkan hak angket Jiwasraya bisa jadi disebabkan oleh dua logika yang bertautan. Jika meletakkannya dalam kerangka logika hukum, skandal Jiwasraya harus dibuka secara terang di hadapan publik. Penyelidikan itu semata-mata dilakukan untuk menilai apakah persoalan ini murni akibat urusan bisnis atau akibat kelalaian pemerintah.
Namun, jika meletakkannya dalam kerangka politik, bisa jadi ini bentuk perlawanan Demokrat terhadap rezim. Jokowi sempat mengungkapkan bahwa kerusakan di perusahaan itu telah terjadi sejak satu dekade lalu. Spekulasi politik demikian tentu tidak bisa diabaikan. Pemimpin Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, tak mau kehilangan momentum untuk memperbaiki citranya. Terlepas dari spekulasi itu, hal mendasar yang perlu direspons ialah seberapa relevan hak angket untuk mengupas skandal di Jiwasraya?
Jika menyemai kembali fungsi pengawasan politik parlemen, hak angket merupakan konsekuensi logis untuk menormalkan keterpisahan relasi eksekutif-legislatif dalam sistem presidensial. Dalam praktik kenegaraan, hak angket tumbuh dan berkembang dalam tradisi politik yang mengagungkan pentingnya kontrol parlemen terhadap pemerintah. Parlemen hadir sebagai pengawas atas segala kebijakan yang diambil dan sedang dilaksanakan pemerintah. Kebutuhan pengawasan melalui hak angket menjadi kian penting untuk menyelidiki kebijakan strategis pemerintah yang dinilai bertentangan dengan hukum positif dan berdampak secara luas.
Dalam analisis Burke (2009), ketika presiden kembali terpilih di periode kedua, pengawasan politik parlemen berada pada puncak ekskalasi. Burke mengambil sampel pemerintahan di Amerika Serikat. Data menunjukkan hasil penyelidikan parlemen di periode kedua pemerintahan kerap berujung pada pintu pemakzulan. Periode kedua kerap memunculkan banyak skandal, korupsi, dan melemahnya sektor ekonomi. Dalam tradisi perpolitikan Amerika, para akademikus juga menyebutnya dengan istilah "kutukan periode kedua".
Kiranya hal itu cukup relevan dengan kondisi saat ini. Di awal periode kedua pemerintahan, Jokowi dihunjam begitu banyak kritik dan skeptisisme publik. Tak salah jika parlemen memainkan peran penting sebagai penyeimbang untuk melakukan penyelidikan atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang berdampak secara luas.
Namun, ironisnya, hak angket DPR merupakan sesuatu yang sifatnya mimpi. Peran DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan telah terdistorsi sejak awal. Budaya kepartaian yang buruk menyebabkan partai politik di parlemen diikat bukan atas kesamaan preferensi kebijakan, melainkan melalui ikatan pragmatisme. Koalisi diikat melalui basis take and give hanya untuk memaksimalkan memburu kursi kekuasaan (Muhtadi, 2019).
Di periode pertama pemerintahan Jokowi, langkah untuk melakukan interpelasi dan angket kerap berujung kebuntuan. Sebut saja soal usulan pembentukan panitia khusus hak angket mengenai kenaikan harga bahan bakar minyak serta pengangkatan dan pemberhentian Arcandra Tahar sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang justru digembosi dengan kekuatan mayoritas pendukung pemerintah di DPR. Satu-satunya yang lolos adalah panitia khusus hak angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Begitu banyak energi yang telah terkuras tapi hasilnya juga absurd.
Selain soal syarat formal yang tidak mudah, substansi hak angket cenderung gembos dan tak terpakai. Hak angket akan kencang di awal tapi lama-kelamaan akan mengalami pembusukan. Jokowi telah menguncinya dengan koalisi gemuk di DPR. Hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang sejauh ini konsisten memainkan peran oposisi. Itu pun hanya menguasai 16,4 persen suara di DPR. Sisanya, Partai Demokrat, yang memiliki persentase kursi sekitar 9,4 persen. Adapun 75 persen kursi dikuasai oleh partai koalisi pemerintah. Relasi Presiden dan DPR "bercampur" sehingga roda pengawasan politik cenderung tidak obyektif, bahkan macet. Sekalipun PKS, PAN, dan Demokrat berada pada poros oposisi, hasil hak angket akan digembosi pada tingkat paripurna.
Gagalnya usulan hak interpelasi, angket, ataupun menyatakan pendapat DPR tentu tidak akan lepas dari peran lobi yang dilakukan pemerintah kepada partai politik koalisinya di DPR. Sikap partai yang cenderung akan membenarkan semua keinginan pemerintah tidak lebih dari sebuah pilihan untuk tetap bertahan di jalur kekuasaan. Gagalnya fungsi pengawasan melalui hak angket menjadi penanda bahwa koalisi kepartaian bisa mempermainkan dan menegasikan logika publik. Demokrasi membusuk. Persis seperti preskripsi yang ditulis Noam Chomsky (2016): cara instan untuk mengunci keamanan politik ialah dengan cara membeli "mereka". Peran dan obyektivitas DPR sebagai pengawas melemah akibat tawaran jabatan, bantuan, imbalan, dan juga bisa jadi karena bisnis.