KITA boleh gagal, sesekali. Tapi kegagalan tak boleh menghancurkan kita. Kita boleh hancur, sesekali. Tapi jangan sampai tak bangun lagi. Itu adalah petuah dari seseorang yang menelepon setelah membaca Kiat dua minggu lalu. Ia lalu mengirimkan fotokopi tulisan Erlangga Ibrahim, "Koperasi dan Sweat Equity", salah satu karangan dalam buku Ke Arah Pemahaman Bangun Perusahaan Koperasi. Di situ, Erlangga mengutip sebuah cerita yang dibacanya pada Guide to Cooperative Akernatives, karya Paul Freudlich. Sebuah cerita menarik yang terjadi di lingkungan kumuh New York, pada t974. Di bagian timur Manhattan, banyak bangunan telantar yang sudah berusia seabad lebih -- dan karenanya tak bertuan -- yang kemudian "diduduki" golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Suatu hari, api membakar flat nomor 519 di East 11th Street itu. Maklum, fasilitas sentral macet, dan para penghuni hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Singkat cerita, flat 519 itu remuk. Para kepala keluarga yang kapiran itu lalu berkumpul. Mereka telah kehilangan tempat tinggal. Tapi, ternyata, mereka tak kehilangan semangat. Api bahkan seperti membakar semangat mereka untuk tegak lebih tegar. Pertemuan itu malah memproklamasikan lahirnya sebuah koperasi yang akan mengusahakan atap bagi keluarga kesrakat itu. Dengan semangat berkibar-kibar, koperasi ini berhasil memperoleh pinjaman lunak US$ 176.800 dari pemerintah kota metropolitan. Dana itu, sudah dapat diduga, terlalu cumpen untuk membangun flat tadi kembali. Pemerintah yang memberi pinjaman lunak itu tentu mengharapkan adanya pungutan modal sendiri dari pihak koperasi. Tapi apa daya? Harta benda 'kan sudah ludes dimakan api? Harus ada jalan keluar! Semua anggota lalu bertekad menjadi pekerja. (Hanya mandor yang disewa dari luar, karena ia harus betul-betul ahli dan berlisensi). Bukan kerja bakti, tentu saja. Tapi upah mereka ditetapkan sangat rendah, hanya US$ 3 per jam. Itu pun tak dibayar penuh. Dari 40 jam kerja seminggu, mereka hanya dibayar 32 jam. Lebihan-lebihan itulah yang kemudian diperhitungkan sebagai penyusutan modal sendiri. Keringat mereka dihargai sebagai modal - dalam arti yang sebenar-benarnya. Hitung punya hitung, setelah bangunan selesai, modal keringat para anggota koperasi itu nilainya ternyata sama dengan US$ 189.600. Jumlah yang tidak kecil. Dengan cara itu koperasi dapat menetapkan tarif sewa yang lebih murah bagi anggotanya hanya US$ 175 per bulan untuk apartemen dua kamar tidur. Upaya penekanan ongkos tak hanya sampai di situ. Mereka pun memelopori penggunaan tenaga angin yang dikonversikan menjadi listrik bagi sumber daya gedung itu. Para penghuni dengan bangga mengatakan, "Di New York kini terdapat tiga pembangkit tenaga listrik: Brooklyn Union Gas, Con Edison (keduanya perusahaan besar) . . . dan . . . 519 East 11th Street." Swadaya masyarakat di 519 East 11th Street yang sukses itu, tentu saja, menyulut semangat kelompok masyarakat lain. Di New York saja, sedikitnya kemudian tumbuh 1.350 koperasi perumahan yang mengikuti pola modal keringat seperti itu. Di Indonesia ada istilah modal dengkul yang berkonotasi negatif dan sering menjadi bahan olok-olok serta sinisme. Padahal, bila modal dengkul itu dimengerti sebagai modal keringat, ia merupakan sumber daya yang penting Jepang telah membuktikan, semboyan manusia adalah harta yang paling pokok dalam menjalankan usaha. Ketika Hiroshima dan Nagasaki dibom, Jepang boleh dikata remuk. "Kaca selebar telapak tangan saja kami tak punya," kata seorang anggota parlemen Jepang mengenangkan kejadian itu. Jepang pun bukan negeri yang kaya akan sumber daya alam. Tapi Jepang mempunyai sumber daya manusia yang melimpah. Dan manusia-manusia Jepang itulah -- lengkap dengan dengkul, keringat, dan otaknya -- yang telah membuat negeri itu bangkit dan berseri kembali - merajai pasar dunia. Tak heran bila kemudian banyak orang Amerika sendiri yang menyesali pengeboman itu. "Bila Jepang tak dibom pada 1945, mungkin pertumbuhan mereka tak selaju sekarang," pikir mereka. Dan kemajuan Jepang yang pesat itu memang membuat Amerika kewalahan. Apakah kita harus menunggu dibom atau mengalami kebakaran hebat yang menghancurkan semua milik kita, agar dapat bangkit lebih tegar di atas puing dan serpih itu? Karena pada titik terbawah seperti itu keadaan tidak bisa lebih buruk. Tak perlu, memang. Asal kita sudi belajar dari pengalaman orang lain yang telah bangkit dari kehancurannya. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini