Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Nafsu Besar Membonsai KPK

Undang-undang bukan kitab suci yang tak bisa diutakatik. Begitu pula Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kitab ini tidaklah haram direvisi. Namun revisi yang sekarang diupayakan, meski baru draf, ternyata bukan bertujuan baik. Revisi ini justru melemahkan lembaga antirasuah itu, bahkan ada upaya membubarkannya.

7 Oktober 2015 | 21.39 WIB

Nafsu Besar Membonsai KPK
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Dalam rancangan revisi yang digodok Dewan Perwakilan Rakyat mulai Selasa lalu, yang drafnya beredar di media massa, terdapat sejumlah pasal yang bila disetujui akan melumpuhkan KPK. Bahkan ada pasal yang berpotensi membubarkan komisi antikorupsi itu.

Rancangan ini terdiri atas 73 pasal dan 12 bab. Pasal 5 menyebutkan KPK dibentuk untuk masa 12 tahun sejak diundangundangkan. Artinya, KPK akan dibubarkan setelah 12 tahun, tidak peduli korupsi masih merajalela.

Penetapan tenggat itu harus ditolak. Memberantas korupsi tidak segampang menghapus kotoran, karena koruptor adalah manusia yang pasti melawan. Faktanya, setelah KPK bekerja keras selama 14 tahun, kejahatan ini masih merajalela. Bahkan sudah menyeret banyak anggota DPR, menteri, hingga jenderaljenderal polisi.

Sebagai lembaga ad hoc, KPK memang harus memiliki tenggat operasional. Namun penetapan tenggat yang ketat harus disertai dukungan penuh terhadap lembaga ini, dari anggaran hingga aturan hukum. DPR dan juga pemerintah sejauh ini justru mengabaikan dukungan itu.

Draf revisi lainnya menyangkut jumlah kerugian negara. Pasal 13 huruf (b) menyebutkan KPK hanya menangani kasus korupsi yang dalam tahap penyidikan ditemukan kerugian negara minimal Rp 50 miliar. Sebelumnya, jumlah minimal kerugian negara Rp 1 miliar. Menurut Pasal 13 huruf (c), jika kerugian negara kurang dari Rp 50 miliar, kasusnya diserahkan ke kepolisian atau kejaksaan.

Ketentuan ini akan membatasi jumlah kasus yang ditangani KPK. Pertanyaannya: apakah kepolisian dan kejaksaan sudah bisa diandalkan? Soalnya, pemicu utama didirikannya KPK adalah ketidakmampuan kedua lembaga tersebut menangani kasus korupsi.

Draf revisi lainnya yang berbahaya adalah usulan lama, terkait dengan prosedur penyadapan. Disebutkan dalam pasal 14 huruf (a), penyadapan oleh KPK dilakukan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup dengan seizin ketua pengadilan negeri. Aturan ini jelas memperumit prosedur penyadapan karena, dalam menyadap, KPK bergantung pada lembaga lain. Apalagi pengadilan termasuk lembaga yang juga rawan korupsi. Jika pasal ini lolos, keberhasilan operasi tangkap tangan oleh KPK bisa terganggu. Padahal selama ini KPK sudah banyak melakukan operasi tangkap tangan terhadap pejabat negara dengan berbekal penyadapan.

Melihat gelagat buruk revisi ini, perubahan UndangUndang KPK harus dilawan, karena bukan dimaksudkan untuk memperkuat lembaga itu. Presiden Jokowi saja sudah menolaknya, kenapa DPR bernafsu benar melemahkan KPK, bahkan rancangan yang semula inisiatif pemerintah ini dijadikan inisiatif DPR?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus