Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Negeri Ini Milik Kita Bersama

Sebuah Renungan bagi Kaum Muda

30 Januari 2019 | 07.15 WIB

Negeri Ini Milik Kita Bersama
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

A. Rahman Tolleng
Evaluator Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Wij zijn de bouwers van de tempel niet/Wij zijn enkel de sjouwers van de stenen/Wij zijn het geslacht dat moet vergaan/Op dat een betere rijze uit onze graven (Henriëtte Roland Holst)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terus terang, saya tidak tergolong akrab dengan puisi. Tapi puisi yang satu ini benar-benar mencuri hati saya sejak pertama kali membacanya. Ketika itu, 60 tahun lalu, saya baru duduk di bangku SMA di Makassar. Puisi yang digubah oleh seorang perempuan sosialis Belanda ini seakan-akan melekat di benak saya.

Hingga kini, selain syairnya, saya masih menghafal terjemahan bebasnya di luar kepala: "Kami ini bukanlah pembangun candi/Kami hanyalah pengangkut bebatuan/Kami adalah angkatan yang musti punah/Agar tumbuh generasi yang lebih sempurna di atas kuburan kami".

Saya membacanya dari sebuah buklet yang terbit dalam rangka peringatan Proklamasi Kemerdekaan. Dari segi mutu sastra, saya tak mampu menilainya. Tapi bagi saya, puisi Roland Holst ini sedikit-banyak merefleksikan kiprah dan kesucian hati para kesatria yang telah mendahului kita. Mereka bertarung menyambung nyawa dengan semboyan: "Merdeka atau Mati"-sebuah semboyan yang kini terasa absurd. Itu semuanya mereka lakukan demi kemerdekaan, demi perwujudan kecintaan kepada Tanah Air, dan demi satu harapan mulia, "agar tumbuh generasi yang lebih sempurna".

Apa lacur? Generasi demi generasi telah berlalu, tapi harapan itu masih tetap jauh.

Konstitusi menyebutkan negara ini berbentuk republik. Anak muda sekarang tentu tidak tahu para pejuang dulu dijuluki kaum Republikein. Tapi kata republik kini seolah-olah tak berarti apa-apa, kecuali bahwa Indonesia bukan kerajaan. Resminya bukan kerajaan memang-sungguh pun tingkah para pemimpin kerap lebih feodal, kalau tidak lebih zalim, dibandingkan dengan seorang monark di zaman sekarang. Bangsa ini pun kurang menyadari bahwa dalam kata republik tersimpul makna filosofis yang dalam, yakni res publica, atau kemaslahatan bersama dalam arti seluas-luasnya.

Frasa "cinta Tanah Air" juga mengalami penyimpangan makna. Konsep "patriotisme", padanannya, seperti terpinggirkan dari kosakata perpolitikan Indonesia, dan sebagai gantinya justru lebih mengemuka konsep "nasionalisme". Kedua konsep tersebut memang sama-sama menggugah sentimen nasional, dan keduanya sama-sama dapat membangkitkan kekuatan dahsyat. Namun, di balik kesamaan itu, ada garis tebal yang memisahkannya.

Patriotisme menuntut kebebasan warga negara atas dasar penghormatan hak-hak orang lain, sedangkan nasionalisme memuja kebesaran bangsa dan menjunjung tinggi apa yang disebut kepribadian nasional. Musuh masing-masing, karena itu, juga berbeda.

Musuh patriotisme adalah segala jenis tirani, ketidakadilan, dan korupsi, sedangkan bagi nasionalisme, yang dimusuhi adalah pencemaran budaya, ketidakutuhan, serta segala sesuatu yang berbau asing.

Elan "cinta Tanah Air" dalam arti patriotisme itulah yang seharusnya selalu disenandungkan kaum muda, sebagaimana hal itu pernah diperagakan oleh para pejuang kemerdekaan. Tapi jangan salah pahami saya. Menjalankan "tugas patriotik"-meminjam istilah Carlo Rosselli, seorang martir antifasis Italia pada Perang Dunia II-tidaklah berarti dan harus selalu berupa tindakan heroik. Patriotisme bukanlah "penyerahan" diri kepada Tanah Air, mengorbankan seluruh hidup bagi Republik. Tindakan yang demikian tidak diperlukan, terkecuali mungkin secara terbatas dalam situasi-situasi genting.

Patriotisme hanya menuntut agar Anda menjadi warga negara yang aktif, warga negara yang selalu peduli terhadap kehidupan bersama, juga peduli terhadap kemaslahatan bersama.

Ini mengimplikasikan bahwa kita selalu siaga untuk melibatkan diri, dan bukannya bersikap acuh tak acuh, tatkala ada sesama warga negara yang menjadi korban ketidakadilan atau tindakan diskriminatif, ketika suatu peraturan perundang-undangan yang reaksioner dipersiapkan atau disahkan, atau ketika pasal-pasal konstitusi dilecehkan.

Tugas-tugas itu sesungguhnya bisa dijalankan sembari Anda tetap bergembira, belajar, atau bekerja menghidupi keluarga. Pokoknya, Anda tak perlu meninggalkan kehidupan privat masing-masing.

Beberapa waktu lalu, istri saya menerima oleh-oleh dari adiknya yang baru saja berkunjung ke London. Sehelai sarung bantal sofa yang sederhana saja. Pada salah satu sisinya terpampang lambang negara Kerajaan Inggris dan di bawahnya tertera suatu seruan singkat yang tertata rapi. Terus terang saya terperangah dan kagum melihatnya.

Kerajaan Inggris yang dikenal begitu liberal ternyata masih mewarisi aspek tertentu dalam Republikanisme.

Apa bunyi seruan itu? Sebagai penutup tulisan ini, saya kutipkan di sini untuk dicamkan oleh kaum muda: "Your Country Needs You"-Negeri Membutuhkan Anda.

Jakarta, 1 Oktober 2012

Surat ini dimuat dalam buku Surat dari & untuk Pemimpin, bagian dari program Menjadi Indonesia yang diselenggarakan Tempo Institute. Tulisan ini diterbitkan kembali untuk mengenang Rahman Tolleng (5 Juli 1937-29 Januari 2019).

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus