Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Opini dan fakta sekitar syomai ...

Desas-desus tentang daging yang digunakan pedagang syomai adalah daging kucing, telah merugikan masyarakat. mereka jadi korban fakta dan opini. perlu diadakan penelitian yang dapat menghayati masyarakat.

5 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP minggu saya pulang ke Jakarta, jajan syomai adalah acara penting yang hampir-hampir khidmat bersa anak-anak saya. Sore-sore, begitu penjaja meneriakkan "maaii . . . " anak bungsu saya yang kegendutan, tetapi tidak pernah lamban dalam mengejar setiap penjaja makanan yang lewat, akan dengan gesit mengejarnya, meninggalkan pekrumnya berantakan di meja. Ketepatannya mengira arah suara "maaii . . . " dan kecepatannya berdiri mencegat penjaja itu di tikungan jalan sering menumbuhkan optimisme saya akan hari depan anak bungsu perempuan yang gendut ini. Mau apa, pak? Kol, telor, kentang, pare, daging -- semua? Pake sambel? Biasanya saya akan menyerahkan kombinasi itu kepada kedua anak itu. Maka digiring udara sore Jakarta yang tetap gerah dan suara sengau penyiar radio Prambors kami bertiga akan melahap jajanan yang sudah melembaga di rumah kami. Akan nilai gizi, kebersihan memasaknya, serta keotentikan etnis bumbu-bumbunya siapa akan peduli dalam latar, setting, yang sudah pas begitu? *** Syahdan, pada suatu Sabtu sore terjadilah krisis itu. "Maaaii . . . " Si gendut tidak beranjak dari tempat duduknya, pekrum berantakan di depannya. "Maaii .... " Si gendut cuma melirik ke arah saya sebentar untuk kemudian menekuri pekrumnya. Setidak-tidaknya kelihatannya begitu. "Maaii . . . " "Lho kok nggak dikejar, ndut?" "Biarin Sudah jauh tu! Sudah lewat tikungan!", katanya dengan penuh keahlian. "Lho kok?" Sekarang si gendut meletakkan bolpoinnya, mukanya dipalingkannya ke muka bapaknya. Astaga, belum pernah saya melihat ekspresi wajahnya begitu serius sebelumnya. "Ssst! Kita sudah berhenti makan syomai. Dagingnya, daging kucing!" "Ah, masa!" Maka berhamburanlah keluar dari mulutnya satu cerita yang amatlah fantastisnya. Konon, gara-gara daging sapi makin melangit harganya, pengurus PSI (Partai Syomai Indonesia) buru-buru mengadakan rapim terbatas di markas besarnya (yang konon ongkos pengelolaannya disubsidi pemerintah) di bilangan Tebet Utara. Dalam rapim itu -- sesudah mendengarkan pengarahan dan perkiraan keadaan dari ketua dan para sesepuh partai -- diputuskanlah untuk mengganti daging sapi dengan daging kucing. Daging kucing masih sangat murah di pasaran, masih akan memungkinkan marge keuntungan yang lumayan dalam kalkulasi, dan yang penting nilai gizi daging kucing ternyata adalah yang paling tinggi dari semua daging. Maka sejak itu syomai di seluruh ibukota -- dan di mana saja ada jajanan ini -- berubah menjadi syomai kucing .... "Aah, anak-kecil sudah suka 'ngarang cerita'! Itu desas-desus, bukan fakta," seruku geram bercampur kecewa. (Sebab syomai sudah melembaga juga di lidah dan perutku). "Lho, tanya deh sama mbak kalau nggak percaya!" Maka kakak si gendut yang panggilannya "mbak" itu saya panggil. Mbak ini delapan tahun lebih tua dari si gendut, baru diterima di salah satu fakultas yang mengajar mistik dan guna-guna. Masuk barisan oposisi, anti NKK dus anti-penalaran. Masa depannya mungkin agak suram karena melihat gelagatnya dia akan sulit diterima dalam masyarakat-akademik-yang-rasional-penuh-penalaran yang insya Allah akan segera terwujud di ini negeri. "eh, menurut si Inem dia lihat sendiri kucing-kucing itu disembelihi di belakang pasar Tebet. Terus dipotong-potong dagingnya dibagi antara anggota partai syomai itu." Saya terhenyak kena schok mendengar penjelasan mbak yang mahasiswi ini. Sudah satu semester jadi mahasiswi kok masih belum tahu membedakan fakta dan desas-desus. "Kau tahu, mbak, cah ayu, kalau itu baru desas-desus? Belum fakta?" "Dan daging itu sesudah dipotong, dicincang, digelindingi dikukus. Rasanya sih gurih, tapi hiiih, kucing lho, pak! Kucing 'kan binatang rumah yang kudu dilindungi. Gunanya juga banyak. Kalau habis nanti bisa merusak ekoloji. Tikus-tikus merajalela. Petani-petani susah. Padahal tikus itu . . . " Saya schok lagi. "Stop, dulu, mbak. Ngomongmu kok jadi molor nggak keruan. Kau tahu, cah ayu? Omonganmu itu desas-desus kau tingkatkan jadi fakta kau ruwetkan dengan opini! Mahasiswi lho, kau itu. Mbok yang bisa nalar begitu to!" "Lho, bapak jadi pro Daoed Joesoef?" "Tentu saja, schaat. 'Kan bapak dosen anggota Korpri. Mesti setuju dong! Ayo, panggil Inem sekarang!" Inem datang. Sayang dia tidak secantik Doris dus Inem ini adalah pelayan yang sama sekali tidak sexy. "Betul kamu lihat dengan mata kepala sendiri kucing-kucing itu disembelihi buat syomai?" "Boten ! Tapi saya dengar dari si Yanem yang dengar dari si Suti yang .... " "Stop! Sana cuci piring sana!" Waduh, rumahku sudah tidak terkendalikan lagi. Sudah kena polusi pikiran yang ruwet. Desas-desus, fakta, opini sas-sus lagi, sulapan fakta lagi, opini ditambah opini ditambah sas-sus lagi. Rawan betul rumah ini situasinya. Sebagai dosen yang juga sedang laku mengajar metode penelitian secara grounded theory saya merasa terpanggil untuk membuka penataran P3GM, Penataran Penelitian Penyimakan Grounded Masyarakat. Tanpa kecuali semua anggota rumah tangga UK ini harus ikut. Yang tidak mau . . . out!! Sebab ini prinsipiiil! Kalau mereka sudah lulus P3GM ini mereka, semua mereka itu, akan otomatis bisa menghayati masyarakat dan gejalanya lebih obyektif lagi. Tidak ngaco seperti sekarang! Maka perintah pun turun. Satu, penataran dibuka minggu depan. Dua, syomai dipanggil lagi. *** Sore berikutnya. Penjaja syomai baru saja meninggalkan rumah. Di sekeliling meja. Saya, gendut dan mbak menghadapi piring syomai. Saya mulai menggigit. Mbak dan gendut diam menatap piring. Saya menggigit. Mereka masih diam. Saya menggigit. Lho, kok rasanya agak anyir. "Ayoh, makan. Sudah dibeli, kok!" Mereka geleng kepala. Ibunya anak-anak datang dari kantor. "Ini bagaimana! Rumah ini sudah jadi korban fakta-dan-opini. Masa syomai begini tidak dimakan lagi!" seruku memrotes." Ibu ini -- seperti ibu-ibu di seluruh dunia -- adalah seorang oportunis yang kreatif bila menyangkut anggaran rumah tangga. "Kebetulan. Menghemat pengeluaran toh!" Saya menggeleng kepala. Saya menggigit. Lho. kok anyir. Ngeoong. Seekor kucing melompat lewat jendela. Hitam lagi ....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus