Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Putu Setia
@mpujayaprema
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Apakah Anda belum bosan dengan hiruk-pikuk virus corona? Atau masih mengikuti berita menghilangnya masker dari pasaran dan heran bagaimana orang memborong masker hanya untuk ditimbun? Jika jawabannya belum, Anda layak mendapatkan predikat "sahabat tangguh", istilah yang terkenal untuk urusan bencana alam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sayangnya, ketangguhan Anda disertai ketakutan dan berujung kepanikan. Anda menunggu-nunggu kabar buruk itu seraya berujar dalam hati: "Jangan-jangan keluarga kami juga kena." Maka Anda pun sibuk membentengi diri. Masker harus ada. Bahan makanan harus tersedia banyak. Kalau tetangga tertular, Anda bisa mendekam di rumah dengan makanan yang cukup untuk berhari-hari.
Pejabat tinggi kita memang gemar berceloteh. Niatnya bagus agar masyarakat waspada sehingga terhindar dari penularan virus asal Cina itu. Cuma cara komunikasinya tidak bagus, masyarakat pun bingung. Siapkan diri dengan masker jika berada dalam kerumunan, kata seorang pejabat. Maka rakyat sibuk mencari masker yang harga jualnya sudah begitu tinggi. Ketika ada pejabat lain menyebutkan bahwa "orang sehat tidak perlu memakai masker, yang sakitlah harus memakainya", rakyat yang sehat tetap mencari masker.
Imbauan jangan panik terus dilontarkan. Tapi sang pemimpin membatasi segala gerak orang berkerumun. Pertandingan bola tak boleh. Konser musik dibatalkan. Bersalaman pun disarankan tidak memakai adu telapak tangan, cukup dengan senyum mengatupkan kedua tangan. Karena ketika tangan bersentuhan, ribuan virus akan berpindah. Lho, dari mana datangnya virus?
Media televisi terus menayangkan virus corona. Padahal isu lain bisa dijadikan penyeimbang. Ya, misalnya, soal Harun Masiku dan Nurhadi. Apakah polisi dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi terus mendeteksi keberadaannya? Lebih sulit mana mendeteksi buronan itu dibandingkan dengan mendeteksi virus corona?
Atau berita lain yang menyangkut urusan bangsa. Tahapan pemilihan kepala daerah serentak pada 2020 sudah dimulai. Meski pemilihan itu baru berlangsung pada 23 September, dalam beberapa hari ini partai politik harus memutuskan siapa pasangan calon yang akan diajukan dalam pemilihan. Apakah calon itu benar-benar merupakan aspirasi dari bawah dan mumpuni atau dari kalangan kerabat pemimpin partai? Ada istilah keren dalam urusan ini, politik dinasti.
Ini yang seharusnya juga dicermati masyarakat. PDI Perjuangan sebagai partai yang banyak mencalonkan tokohnya sudah mengumumkan 50 calon pasangan yang akan bertarung. Namun 50 calon itu belum termasuk daerah tempat politik dinasti diduga sedang ditumbuhkan.
Misalnya, apakah Gibran Rakabuming, putra sulung Presiden Jokowi, dicalonkan oleh PDIP sebagai Wali Kota Solo? Apakah Bobby Nasution, mantu Jokowi, dicalonkan sebagai Wali Kota Medan? Apakah anaknya Pramono Anung tetap dicalonkan sebagai Bupati Kediri? Apakah putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah, dicalonkan sebagai Wali Kota Tangerang Selatan? Apakah calon Bupati Tabanan, Bali, adalah adik bupati yang sekarang, yang juga anak bupati sebelumnya? Wow, masih banyak bau-bau dinasti lagi kalau semua disebutkan.
Banyak yang berkata, tak ada yang salah dengan politik dinasti, toh itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Yang perlu diawasi adalah jangan sampai kekuasaan disalahgunakan untuk hal-hal tersebut. Jokowi, Ma’ruf, dan siapa pun yang sedang berkuasa jangan sampai mempengaruhi proses pemilihan untuk memenangkan anaknya. Masyarakat harus memantau semua ini.
Tapi bagaimana masyarakat memantau kalau kita sibuk dengan virus corona dan panik mencari masker?