Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gonjang-ganjing politik yang terjadi di Mesir adalah pelajaran berharga bagi Indonesia. Dengan dalih menyelamatkan negara dari ancaman kelompok Islam garis keras, Presiden Abdul Fattah as-Sisi membungkam kritik, memberangus oposisi, dan membatasi kebebasan berekspresi. Hasilnya malah krisis berkepanjangan.
Dua pekan terakhir, rakyat Mesir berbondong-bondong turun ke jalan, berdemonstrasi menuntut Presiden As-Sisi mundur. Pemerintah merespons unjuk rasa dengan keras. Polisi menangkap lebih dari 2.800 orang, termasuk pegiat politik, aktivis hak asasi manusia, pengacara, dan jurnalis. Banyak di antara mereka dituding menjadi bagian dari gerakan politik Al-Ikhwan al-Muslimun, yang dilarang sejak 2014.
Gelombang demonstrasi itu sendiri dipicu kemarahan rakyat menyaksikan korupsi parah di pucuk pemerintahan Mesir. Semua bermula dari serangkaian video yang diunggah ke Internet oleh seorang kontraktor yang 15 tahun bekerja sama dengan militer, Mohamed Ali. Video tersebut antara lain mengungkap bagaimana As-Sisi menghamburkan jutaan dolar uang rakyat untuk membangun istana, hotel, dan vila. Video itu menyebar luas melalui media sosial dan segera memantik aksi unjuk rasa serentak di seantero Mesir.
Presiden As-Sisi sendiri naik ke tampuk kekuasaan melalui kudeta pada Juli 2013. Sebagai Menteri Pertahanan dan Panglima Angkatan Bersenjata Mesir, dia menggulingkan Muhammad Mursi, presiden yang terpilih melalui pemilihan umum yang sah. Pengambilalihan kekuasaan ini didukung sebagian rakyat Mesir yang gerah melihat Mursi dan partainya, Al-Ikhwan al-Muslimun, memaksakan penerapan syariat Islam di sana.
Sejak itu, As-Sisi selalu menggunakan hantu Islam garis keras untuk membenarkan semua tindakan politiknya. Media sosial dikontrol dengan ketat. Pengadilan Keamanan Darurat—lembaga yang tidak mengenal upaya hukum banding—dihidupkan untuk mengadili tahanan politik. Para pembangkang disingkirkan dengan label islamis atau teroris.
Sejenak khalayak Mesir terlena. Ketika Komisi Pemilihan Umum Mesir menggelar referendum pada April lalu, mayoritas pemilih menyetujui perubahan konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan presiden dari empat tahun menjadi enam tahun. Kemenangan itu membuat As-Sisi bisa berkuasa selama nyaris 30 tahun secara konstitusional. Baru setelah ada pengungkapan korupsi di level elite pemerintahan Mesir, publik tersadar dan bergerak. Namun semua sudah terlambat.
Jika masyarakat sipil di Indonesia tidak waspada, apa yang terjadi di Mesir bisa dengan mudah terulang di negeri ini. Ketakutan atas ancaman radikalisme bisa membuat sebagian orang memaklumi tindakan otoriter penguasa. Tak banyak dari kita yang memprotes kebijakan Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan pada 2017, yang membuat pembubaran organisasi bisa dilakukan tanpa proses pengadilan. Radikalisme agama berbahaya, tapi menggunakan hantu radikalisme agama untuk membenarkan korupsi dan memberangus demokrasi tidak kalah berbahayanya.
Kini sebagian dari kita juga enggan menolak langkah pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang pada dasarnya memberangus independensi dan kewenangan KPK. Banyak orang percaya ada kelompok Islam radikal—yang kerap disebut kubu Taliban—yang konon menguasai lembaga antirasuah itu.
Kasus Mesir seharusnya menyadarkan kita. Jangan sampai kekhawatiran terhadap Islam radikal membuat kita diam saja ketika berbagai hasil gerakan Reformasi 1998 dilucuti satu per satu. Belum terlambat untuk mencegah Indonesia menjadi Mesir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo