Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Sahidah*
Mengapa banyak pemerhati dan media massa enggan menerjemahkan istilah swing voters? Hakikatnya, kita bisa menerjemahkan secara harfiah kata majemuk ini menjadi "pemilih berayun". Seperti bandul jam yang berayun ke kanan dan kiri, pemilih akan menentukan pilihan sesuai dengan suasana hati di akhir-akhir menjelang hari pemilihan. Kadang ada orang yang mengalihbahasakannya dengan "pemilih mengambang", dengan andaian bahwa pemilih itu berada dalam kedudukan antara muncul ke permukaan dan tenggelam di dasar air.
Hanya, apakah kita bisa menggunakan "pencoblos berayun"? Tentu penyebutan semacam ini tidak dihalang karena lema vote itu berarti memberikan suara dalam pemilihan yang bisa dilakukan dengan pelbagai cara, seperti mencontreng, mencoblos, mengangkat tangan, dan memberikan tanda silang (di Malaysia pangkah). Memang benar, kata "pemilih" tidak sepenuhnya menggambarkan voter, karena kata ini lebih dikaitkan dengan kata dasar "pilih", yang tersedia dalam lema Inggris, elect. Tak ayal, pesta demokrasi disebut pemilihan umum atau general election.
Sesungguhnya penyerapan dari kata asing bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu penyerapan langsung atau harfiah dan penyerapan makna. Kalau cara pertama yang dipilih, kita bisa mengucapkan "pemilih berayun", sementara kalau yang kedua, "pemilih mengambang" bisa dijadikan pilihan, sebagaimana warga jiran menyebutnya "pengundi atas pagar". Bagaimanapun, penyebutan ini boleh jadi mengandaikan bahwa mereka yang belum memastikan dukungan seperti berada di atas pagar, yang hanya menunggu waktu untuk melompat di detik-detik terakhir.
Kata lain yang acap disematkan pada pemilih adalah "konstituen". Kata terakhir ini berasal dari bahasa Inggris, constituent. Selain bermakna sebagai bagian dari keseluruhan, kata ini berarti sebagai anggota yang bisa memilih dan dipilih untuk jabatan tertentu dalam organisasi. Padanan dari kata ini adalah komponen, bagian dari komponen, kandungan (ingredient), dan unsur (element). Kata tersebut diserap dari kata Prancis, constituant, yang pada mulanya berupa bahasa Latin, constituere. Jelas, bahasa kita menyerap begitu saja banyak istilah dari bahasa asal, meskipun padanan katanya bisa ditemukan dalam bahasa sasaran.
Sementara itu, kata yang sering dikaitkan dengan perilaku pemilih adalah "sogokan", yang disebut sebagai "politik uang". Apa lacur, meskipun kata itu telah menggambarkan perilaku pemilih yang tak sehat, banyak orang dan media yang acap menyebut money politics. Tentu dua kata terakhir bisa digunakan apabila si penutur berbahasa Inggris. Bahkan ada sebuah koran nasional berbahasa kebangsaan menyebutnya money politik atau money politic seraya meletakkan tanda kutip pada kata tersebut. Yang paling menyedihkan ketika orang ramai mengucapkannya secara lisan, yang mana penekanan huruf s pada politics tak terdengar, seakan-akan mereka hanya menyatakan "politik". Serba tanggung!
Selain itu, kata yang sering diungkapkan terkait dengan persaingan di antara politikus adalah checks and balances. Hampir-hampir tidak ada upaya untuk menerjemahkan kata majemuk ini, yang sebenarnya begitu penting dalam sebuah sistem kenegaraan dan perpolitikan. Meskipun demikian, orang ramai seakan-akan sudah mafhum bahwa kata ini mengandaikan pembeda di antara dua pihak yang berkuasa dan beroposisi. Ketika pihak pembangkang, sebutan negeri jiran untuk oposisi, mengkritik pemerintah, istilah tersebut acap berhamburan. Kalau di negeri Siti Nurhaliza, meskipun kata ini juga sering digunakan, padanannya juga sering terdengar, yakni "simak dan imbang". Pendek kata, apa pun kebijakan penguasa harus dicek dan diimbangi dengan kritik, yang di sini kemudian diperhalus dengan kata "kritik membangun". Tak hanya itu, pelakunya pun disebut "oposisi loyal". Lagi-lagi kita belum pernah mendengar oposisi setia, bukan?
Menariknya, kata lain yang jarang digunakan tapi pernah terdengar dalam perbincangan politik adalah a necessary evil. Istilah yang diungkapkan oleh Thomas Paine (1737-1809), filsuf dan pegiat politik berketurunan Inggris, ini tentu tampak aneh bila diterjemahkan ke dalam bahasa kita, sehingga pengekalan bahasa asal menyebabkan pengucap dan pendengar tak merasa terbebani oleh makna evil, jahat. Bagaimana mungkin pemerintah yang dipilih bisa menjadi jahat, sementara mereka dipilih rakyat? Secara tak sadar, banyak istilah politik yang terdengar lebih halus dibandingkan dengan bahasa sasaran dan tampak sebagai wujud eufemisme. Bayangkan kalau kita mengatakan "suap politik" untuk money politics dan "kejahatan yang perlu" untuk a necessary evil! Jangan-jangan, pengucapan dalam bahasa asing itu adalah cara kita menjadikan penderitaan ini tertanggungkan. Malangnya jika ini cara kita bersopan-santun.
*) Dosen Filsafat Dan Etika Universitas Utara Malaysia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo