Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Perjelas Aturan Reklamasi

KENDATI terlambat, keputusan pemerintah menghentikan sementara proyek reklamasi di pantai utara Jakarta patut didukung. Ini momentum yang baik untuk membenahi tumpang-tindih kewenangan dan peraturan yang menjadi dasar hukum pembangunan 17 pulau buatan di pesisir pantai utara Ibu Kota itu.

21 April 2016 | 00.44 WIB

Perjelas Aturan Reklamasi
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

KENDATI terlambat, keputusan pemerintah menghentikan sementara proyek reklamasi di pantai utara Jakarta patut didukung. Ini momentum yang baik untuk membenahi tumpang-tindih kewenangan dan peraturan yang menjadi dasar hukum pembangunan 17 pulau buatan di pesisir pantai utara Ibu Kota itu.

Pemerintah juga perlu menjernihkan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) atas pembangunan daratan baru seluas 3,5 ribu hektare itu. Analisis asal-muasal pasir reklamasi yang ditengarai sebagai hasil pencurian di Kepulauan Seribu juga mesti masuk skala prioritas pembenahan.

Dimulai sejak era Presiden Soeharto pada 1995, proyek mercusuar ini dipersoalkan setelah Kementerian Lingkungan Hidup mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 14 Tahun 2003, yang menyatakan rencana reklamasi tidak layak dari sisi lingkungan. Keputusan ini digugat para pengembang. Ujungnya, Mahkamah Agung, dalam tahap peninjauan kembali, membatalkan ketentuan Kementerian Lingkungan Hidup itu. Pemerintah Jakarta menyambut putusan tersebut dengan menerbitkan amdal per pulau.

Proyek reklamasi juga dibayangi tarik-menarik ihwal pihak yang berhak memberikan izin. Kementerian Kelautan, mengacu ke Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012, menyatakan pemberi izin reklamasi lintas provinsi dan kawasan nasional strategis tertentu ada di pihaknya. Sedangkan Gubernur Jakarta, mengacu ke Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995, menyatakan sebagai pihak yang berwenang. Alasan lainnya, pantai utara Jakarta tidak masuk kategori kawasan strategis.

Dibiarkan begitu lama, sengkarut ini baru menjadi perhatian setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta, Mohamad Sanusi, awal April lalu. Ia diduga menerima suap dari Ariesman Widjaja, Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, salah satu pengembang pulau reklamasi. Suap diduga untuk memuluskan peraturan daerah reklamasi pesanan pengusaha.

Aturan reklamasi memang tidak jelas. Tiga pihak yang selama ini berbeda pendapat, yakni pemda DKI Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Kelautan, akhirnya duduk bersama. Disepakati membentuk komite ad hoc untuk mengurai benang kusut reklamasi.

Komite harus bekerja cepat. Ini penting untuk kepastian berusaha dan investasi. Untuk urusan amdal, pijakannya sudah jelas, yakni putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung yang mengadili sengketa amdal proyek reklamasi, yang terbit pada Maret 2011. Dalam putusan itu disebutkan, apabila dalam proses reklamasi terdapat kelemahan amdal, setiap perubahan kebijakan harus melalui keputusan presiden. Ini artinya, tidak ada lagi keputusan menteri atau Gubernur Jakarta yang mengatur amdal reklamasi.

Ihwal siapa yang berhak memberikan izin, komite harus meminta Presiden Jokowi menyelaraskan payung hukum tentang hal ini. Komite juga harus serius mengusut dugaan pencurian pasir reklamasi. Dan kalau terbukti, serahkan ke penegak hukum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus