Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Fahmy Radhi
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Surat balasan Menteri Badan Usaha Milik (BUMN) Rini Soemarno kepada Pertamina, yang sempat beredar luas di publik, telah memicu gonjang-ganjing di masyarakat. Semua media massa mengulas dan membahas gonjang-ganjing itu dengan tajuk hampir serupa. Tajuk itu menggambarkan bahwa keuangan Pertamina berdarah-darah dan terancam bangkrut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dalam suratnya, Rini menyebutkan persetujuan prinsip bagi Pertamina untuk melakukan beberapa aksi korporasi, termasuk share down dan spin-off. Hal inilah yang dianggap sebagai upaya menjual aset-aset Pertamina, padahal tidaklah demikian.
Share down adalah aksi korporasi untuk menjalin kerja sama usaha dengan mitra strategis untuk saling berbagi keuntungan, biaya, dan risiko yang lazim dilakukan dalam industri minyak dan gas (migas). Pertamina sudah merencanakan untuk melakukan share down dalam pengelolaan Blok Mahakam dengan menawarkan 39 persen hak pengelolaan kepada mitra strategis dan memberi profitability interest kepada pemerintah daerah. Dalam share down Blok Mahakam, Pertamina tetap memegang hak pengelolaan mayoritas 51 persen dan tetap berperan sebagai pengendali dalam pengelolaan Blok Mahakam.
Adapun spin-off adalah aksi korporasi untuk memisahkan unit usaha bisnis menjadi anak perusahaan. Seperti yang disebutkan dalam surat Menteri BUMN, unit kilang minyak di Cilacap dan Balikpapan dipisahkan untuk menjadi anak perusahaan. Anak perusahaan itu menjalin mitra strategis untuk pengembangan kilang atau Refinery Development Master Plan (RDMP). Melalui spin-off, diharapkan perusahaan akan mendapat kucuran dana segar yang dibutuhkan untuk mempercepat proyek RDMP.
Tidak benar pula bahwa Pertamina terancam bangkrut. Kalau mencermati laporan keuangan selama lima tahun terakhir, Pertamina mencatatkan keuntungan dan mencapai likuiditas (memenuhi kewajiban jangka pendeknya) maupun solvabilitas (memenuhi semua kewajibannya). Pada semester I 2018, Pertamina diperkirakan masih mencatatkan laba. Hanya, laba itu cenderung menurun dibanding periode sama pada 2017. Perkiraan perolehan laba tersebut didasarkan atas peningkatan produksi gas bumi sebesar 3.115 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) dan minyak bumi yang mencapai 386 juta barel per hari. Adapun peningkatan produksi total migas mencapai sebesar 923 juta barel setara minyak per hari.
Peningkatan produksi itu semestinya akan menaikkan pendapatan penjualan, yang memberi kontribusi perolehan laba. Namun laba itu diperkirakan akan cenderung turun, lantaran Pertamina harus menanggung potential loss dalam jumlah besar. Membengkaknya potential loss disebabkan Pertamina tidak dapat menaikkan harga jual Premium dan solar di tengah meroketnya harga minyak dunia, yang mencapai US$ 74,1 per barel. Dalam waktu hampir bersamaan, kurs rupiah cenderung melemah, yang berpotensi membengkakkan biaya operasional, terutama biaya pengadaan bahan bakar minyak.
Potential loss itu berpotensi menurunkan perolehan laba 2018, tapi diperkirakan tidak sampai menyebabkan Pertamina mengalami kerugian usaha. Dalam kondisi demikian, tidak ada justifikasi bahwa Pertamina terancam bangkrut. Kalau Pertamina masih menanggung potential loss dalam jangka panjang, hal itu tidak hanya berpotensi menggerus keuntungan Pertamina, tapi juga menyebabkan Pertamina mengalami kerugian. Jika kerugian itu berlangsung secara berturut-turut dalam jangka panjang, tidak mustahil Pertamina akan terancam bangkrut.
Untuk mencegah potensi kebangkrutan itu, Pertamina harus melakukan efisiensi besar-besaran untuk menekan pembengkakan biaya operasional. Namun Pertamina tidak dapat berbuat banyak dalam mengatasi peningkatan harga minyak dunia dan pelemahan rupiah. Pemerintah harus membantu Pertamina dalam meminimalkan potential loss. Kalau Pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan harga Premium dan solar, pemerintah semestinya menaikkan alokasi subsidi untuk solar agar potential loss Pertamina dapat diminimalkan.