Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Presidential Threshold Ganda

Negara dan bangsa Indonesia punya pengalaman cukup panjang dan bervariasai dalam memilih presiden dan wakil presiden.

30 Juli 2018 | 07.05 WIB

Presiden Joko Widodo alias Jokowi (keempat kanan) didampingi Menkumham Yasonna Laoly (kedua kanan), Mensesneg Pratikno (ketiga kanan), Menko Polhukam Wiranto (kelima kanan), dan  Seskab Pramono Anung (keenam kanan) menerima Ketua  Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman (kelima kiri) beserta Komisioner KPU di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu, 11 Juli 2018. Pertemuan tersebut untuk melaporkan pelaksanaan pilkada 2018. ANTARA/Wahyu Putro A
Perbesar
Presiden Joko Widodo alias Jokowi (keempat kanan) didampingi Menkumham Yasonna Laoly (kedua kanan), Mensesneg Pratikno (ketiga kanan), Menko Polhukam Wiranto (kelima kanan), dan Seskab Pramono Anung (keenam kanan) menerima Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman (kelima kiri) beserta Komisioner KPU di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu, 11 Juli 2018. Pertemuan tersebut untuk melaporkan pelaksanaan pilkada 2018. ANTARA/Wahyu Putro A

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Sulardi
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Malang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Negara dan bangsa Indonesia punya pengalaman cukup panjang dan bervariasai dalam memilih presiden dan wakil presiden. Kita pernah memilih dengan aklamasi, saat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menentukan presiden dan wakil presiden pertama. Pada periode Soeharto, pemilihan presiden dilakukan dengan musyawarah mufakat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Adapun Abdurrahman Wahid dipilih melalui pemungutan suara di MPR. Kemudian Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko widodo dipilih secara langsung oleh rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terdapat perbedaan regulasi dalam pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Pemilihan 2004 sampai 2019 menggunakan presidential threshold. Perbedaannya, pada pemilihan 2004, presidential threshold sebesar 15 persen dari jumlah kursi dan 20 persen perolehan suara sah secara nasional dalam pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Pada pemilihan 2009 dan 2014, presidential threshold menjadi 20 persen jumlah kursi di DPR atau 25 persen perolehan suara sah secara nasional pada pemilihan legislatif.

Dengan diberlakukannya presidential threshold itu, pada 2013 sekelompok masyarakat menguji konstitusionalitas Undang-Undang Pemilihan Presiden 2008 di Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah berpendapat bahwa ihwal penentuan presidential threshold adalah kebijakan hukum terbuka. DPR kemudian merevisi aturan itu menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Konsep presidential threshold tetap dipertahankan. Pada Pasal 222 aquo disebutkan: pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen suara sah secara nasional pada pemilihan legislatif sebelumnya.

Baru-baru ini Denny Indrayana dan beberapa ahli tata negara serta Advokat Cinta Tanah Air mengajukan permohonan uji materi atas Pasal 222 itu ke MK. Mereka menilai pasal itu bertentangan dengan Pasal 6 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 6 tidak mensyaratkan ketentuan tentang persentase perolehan suara partai politik pada pemilihan umum dan jumlah kursi yang diraih partai politik.

Jika MK menolak lagi uji materi ini, bersiaplah kita kembali ke era Orde Baru, ketika pencalonan presiden dimonopoli oleh partai politik besar-waktu itu Golkar. Bahkan partai itu bisa melanggengkan Soeharto terpilih menjadi presiden selama tujuh kali berturut turut.

Akan terjadi polarisasi masyarakat yang sangat keras antara pendukung calon presiden yang menang dan yang kalah. Hingga hari ini, pendukung Jokowi dan Prabowo masih "bermusuhan". Perang argumentasi, yang kadang menggunakan bahasa kasar-"cebong" sebagai julukan bagi kelompok pendukung Jokowi, dan "kampret" bagi yang ingin mengganti presiden pada 2019-merupakan bukti polarisasi yang tidak sehat itu. Hal tersebut terjadi di media sosial maupun di alam nyata.

Di berbagai negara, presidential threshold bukan pada persyaratan pencalonan, melainkan persyaratan terpilih dengan suara minimal persentase yang ditentukan dalam undang-undang. Misalnya, di Brasil nilainya 50 persen plus satu, di Ekuador 50 persen plus satu atau 45 persen asalkan berbeda 10 persen dari pesaing terkuat, dan di Argentina 45 persen atau 40 persen asalkan beda 10 persen dari pesaing terkuat. Ditinjau dari makna substantif presidential threshold dalam praktik di beberapa negara tersebut, dapat ditegaskan bahwa presidential threshold adalah syarat bagi seorang calon presiden untuk terpilih menjadi presiden, bukan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.

Hal tersebut sudah diatur dalam UUD kita, yakni 50 persen plus satu dengan ketentuan setengah jumlah provinsi memperoleh minimal 20 persen suara. Bila demikian halnya, pemilihan presiden di Indonesia sebenarnya telah menggunakan presidential threshold ganda.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus