Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Penyebab Beras Bersubsidi Mahal dan Langka

Pungutan liar memperparah kelangkaan beras bersubsidi. Kenaikan harga, antara lain, berakar pada korupsi.

3 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK urusan seserius beras, pemerintah tak kunjung menaruh perhatian pada pengadaan dan distribusinya. Akibatnya, stok acap langka dan harganya melambung karena dimainkan segelintir orang untuk keuntungan pribadi dan kelompoknya. Kenaikan harga beras hari-hari ini, selain disebabkan oleh ketimpangan antara suplai dan konsumsi, terjadi akibat pungutan liar yang berlangsung sejak penentuan kuota pasokan hingga di gudang-gudang Perusahaan Umum Bulog.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pungli memperparah kelangkaan beras di pasar. Sejumlah pedagang enggan mengambil beras cadangan pemerintah dari gudang Bulog karena harus membayar pungutan liar kepada pengurus paguyuban pedagang. Sedangkan pedagang yang tak terdaftar sebagai anggota paguyuban sulit mendapatkan beras. Pungli membuat distribusi beras macet.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dulu Bulog melakukan operasi beras secara langsung ke pasar dan konsumen. Kini beras program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) disalurkan melalui distributor dan pedagang besar yang memiliki jaringan toko (downline). Skema ini, selain memperpanjang rantai perjalanan beras untuk sampai ke tangan konsumen, menciptakan celah pemburu rente di setiap titik.

Penelusuran majalah ini ke pelbagai daerah menemukan banyak permainan dalam penyaluran beras SPHP. Seorang pedagang yang hendak mengeluarkan beras dari gudang Bulog harus membayar ongkos tambahan per kilogram. Di Indramayu, Jawa Barat, tarifnya Rp 200 per kilogram dan tarif untuk mendapatkan kuota pasokan beras Rp 250 per kilogram.

Di Kalimantan Barat dan Madura, Jawa Timur, aroma permainan juga menyeruak. Stok beras langka karena pedagang tak mudah beroleh pasokan dari Bulog. Sama seperti di daerah lain, kalaupun mendapatkan pasokan, distributor atau pedagang mesti menyediakan sogokan. Biaya tambahan itu membuat mereka harus menaikkan harga di tingkat konsumen.

Praktik rente ini sebetulnya masalah laten yang seharusnya mudah dicek dan dicegah oleh Bulog. Bayu Krisnamurthi, Direktur Utama Perum Bulog yang baru, adalah ilmuwan pertanian dari IPB University yang paham akan seluk-beluk dan problem distribusi beras. Seharusnya ia bisa mencegah operasi para pemburu rente dengan cepat dan tuntas.

Keberadaan para pemburu rente itu seolah-olah mempermalukan Badan Pangan Nasional yang mengklaim stok beras di gudang Bulog masih 1,2 juta ton dan ada 500 ribu ton yang sedang dalam proses impor. Harga beras di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, juga mulai turun. Namun pungli telah menghambat distribusi. Beras tertahan di gudang sehingga tetap langka dan mahal di pasar.

Centang-perenang distribusi beras ini mesti disetop. Pemburu rente dan pelaku korupsi mesti ditindak karena sudah mengganggu hajat hidup orang banyak. Beras merupakan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia. Kelangkaan akan memicu inflasi yang mempengaruhi ekonomi secara keseluruhan. Penyaluran tanpa dibarengi integritas para pelakunya akan mendorong krisis sosial yang serius.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pungli Beras Makin Luas"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus