Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Berita Tempo Plus

Reformasi Konstitusi

6 Mei 2001 | 00.00 WIB

Reformasi Konstitusi
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

 

REFORMASI konstitusi sesungguhnya bukan usulan yang baru. Jauh sebelum Soeharto jatuh, banyak suara yang menuntut diadakannya reformasi konstitusi karena Undang-Undang Dasar 1945 tak bisa disebut sebagai konstitusi yang demokratis yang mendukung hak asasi manusia, yang menghargai check and balance, dan menghormati supremasi hukum. Namun, siapa pun yang menjabat sebagai presiden pasti akan berusaha mempertahankan UUD 1945 karena konstitusi ini bisa menjamin lestarinya kekuasaan tanpa ada pembatasan masa jabatan. UUD 1945 menganut apa yang disebut distribution of power, yang pada esensinya menghilangkan garis pemisah antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Beberapa ahli tata negara Indonesia menyebut UUD 1945 sebagai konstitusi yang sifatnya "executive heavy".

Di saat reformasi, UUD 1945 tidak lagi dianggap sebagai benda keramat. UUD 1945 bahkan sudah mengalami dua kali perubahan, yang dikenal sebagai "The First Amendment" dan "The Second Amendment". Tentu ini suatu langkah maju. Akan tetapi tetap muncul kesan bahwa perubahan konstitusi sekarang ini lebih karena euforia reformasi dan merupakan akomodasi politik terhadap pelbagai tekanan sosial dan politik dari kekuatan politik tertentu. Dengan kata lain, yang terjadi adalah praktek dagang sapi politik. Kita tidak melihat paradigma reformasi, sehingga perubahan konstitusi berjalan tanpa konsep yang jelas, bersifat ad hoc, dan parsial. Model perubahan seperti ini tak akan membantu negeri ini lepas dari kemelut sosial-politik, tidak akan menciptakan pondasi negara hukum yang demokratis, dan bukan mustahil kita nantinya akan dihadapkan pada pelbagai persoalan ketatanegaraan baru yang rumit.

Saya menghargai upaya perubahan konstitusi yang tengah dijalankan. Akan tetapi sudah waktunya kita memikirkan tidak saja perubahan konstitusi, tetapi juga membuat konstitusi baru seperti yang dilakukan oleh Cory Aquino ketika ia menggantikan Marcos, atau seperti yang terjadi di Thailand beberapa tahun silam. Negara ini membutuhkan pabrik sosial yang baru, suatu pengaturan baru yang lebih menjamin adanya separation of power, check and balance, hak asasi manusia, supremasi hukum, dan keadilan sosial. Saya ingin mengusulkan agar presiden bersama dengan MPR duduk bersama dan membentuk suatu komisi konstitusi yang tugasnya membuat suatu konstitusi baru, katakanlah konstitusi reformasi. Persoalan konstitusi baru terlalu besar jika ditangani hanya oleh Badan Pekerja, PAH I, dan Tim Ahli MPR. Partisipasi sebanyak mungkin elemen masyarakat sipil mutlak perlu.

Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari komisi konstitusi. Pertama, konstitusi baru harus menjamin dihormatinya hak-hak asasi manusia, karena walaupun The Second Amendment relatif cukup lengkap mengatur hak-hak asasi manusia, kita tetap perlu memperluas cakupan substansi dan mekanisme hak asasi manusia. Kedua, konstitusi baru harus mengatur partisipasi publik dalam pemerintahan karena publiklah yang berdaulat. Pemerintah adalah organ yang menjalankan mandat dan kepentingan publik. Jadi, perlu dijamin didengarnya suara publik. Di sinilah kita menekankan pentingnya pemilihan umum langsung untuk semua tingkatan, termasuk pemilihan presiden, gubernur, dan bupati. Ketiga, konstitusi baru harus secara tegas menganut supremasi sipil, tempat peran militer harus dibatasi. Perwakilan militer di MPR, DPR, lembaga tinggi negara lainnya dan gubernur atau bupati ditiadakan. Kalaupun ada, itu dibuka untuk mereka yang sudah tidak lagi berdinas aktif. Ini penting untuk menjamin tegaknya demokrasi.

Keempat, konstitusi baru haruslah merumuskan mengenai check and balance secara tegas, tempat fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif diatur. Apa yang terjadi sekarang dengan The First Amendment dan The Second Amendment menurut hemat saya telah memberikan kekuasaan berlebih pada legislatif, sehingga cenderung mengambil alih sebagian tugas eksekutif. Saya kira lambannya pemerintah dalam merespons keadaan adalah karena legislatif terlalu banyak campur tangan sampai pada hal yang sangat teknis. Kasus divestasi Bank BCA atau transaksi perkebunan kelapa sawit Salim yang dibeli oleh Guthrie adalah urusan eksekutif. Anehnya, proses pengambilan keputusannya harus melibatkan legislatif. Lebih aneh lagi, transaksi yang sudah selesai diungkit dan dimentahkan oleh legislatif.

Dan kelima, konstitusi baru hendaknya menjamin secara sangat tegas independency of judiciary. Mohon dicatat bahwa dua pasal yang tertulis dalam UUD 1945 sama sekali tidak menjamin independency of judiciary. Yang menyedihkan adalah baik The First Amendment maupun The Second Amendment sama sekali tidak mencantumkan satu pasal pun tentang hal ini. Jadi, jangan heran kalau sampai hari ini Indonesia tetap tidak berhasil memiliki lembaga peradilan yang bebas dan mandiri. Sejak Indonesia merdeka, soal independency of judiciary ini hanyalah retorika politik yang kosong.

Apabila Indonesia sungguh-sungguh ingin menegakkan demokrasi, supremasi hukum, dan good governance, UUD 1945 beserta The First Amendment dan The Second Amendment mutlak mesti diganti dengan konstitusi baru. Tentu membuat konstitusi baru bukanlah pekerjaan mudah. Thailand, misalnya, memerlukan tiga tahun sebelum melahirkan konstitusi baru pada tahun 1997. Mereka membentuk komisi konstitusi yang mempunyai perwakilan amat luas dan beragam, dari partai politik, kelompok profesional, organisasi keagamaan, intelektual, perempuan, pemuda, buruh, sampai orang-orang daerah. Jumlah anggotanya 99 orang. Komisi ini secara terbuka melakukan hearing di berbagai daerah, sebelum akhirnya melahirkan rancangan konstitusi baru. Proses pembuatan konstitusi baru inilah yang disebut sebagai proses yang sarat dengan participatory democracy.

Dapatkah Indonesia meniru Thailand? Menurut saya, potensi dan kemampuan kita sama besarnya dengan Thailand. Hanya, sekarang ini yang dituntut adalah kearifan dan kenegarawanan dari semua elite politik untuk mengajak publik turut serta dalam proses pembuatan konstitusi baru karena konstitusi baru ini haruslah menjadi kontitusi reformasi atau, kalau mau, sebutlah konstitusi rakyat. Kalau ini dilakukan, konstitusi baru ini akan memperoleh legitimasi dan dukungan dari rakyat, dan dengan demikian akan dihargai dan dihormati oleh rakyatnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus