Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pembelokan program Kartu Pra-Kerja menjadi program penanganan pengangguran pada masa wabah merupakan langkah yang salah arah. Program ini dirancang pada masa kampanye Joko Widodo dalam pemilihan presiden tahun lalu, yang ditujukan untuk meningkatkan jumlah sumber daya manusia yang unggul. Sasarannya adalah warga negara berusia minimal 18 tahun yang sedang mencari kerja, pekerja sektor informal, serta pelaku usaha mikro dan kecil. Karena itu, bentuknya berupa pelatihan untuk keterampilan tertentu dan menjadi wirausahawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Keadaan sekarang jauh berbeda. Wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) memaksa banyak perusahaan memecat karyawannya. Kementerian Tenaga Kerja mencatat, hingga Senin lalu, jumlah total pekerja di sektor formal dan nonformal yang dikenai pemutusan hubungan kerja dan dirumahkan mencapai 2,8 juta orang. Jumlah ini diperkirakan terus meningkat selama wabah belum teratasi. Bila pun wabah berakhir, perekonomian tak akan segera pulih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Penganggur itu bukan pencari kerja baru, melainkan pekerja terlatih yang dipecat karena perusahaan sudah tak mungkin berjalan saat ini. Bukan latihan keterampilan yang mereka butuhkan, melainkan lowongan kerja baru yang sesuai dengan keahlian mereka. Jadi, cara mengatasi pengangguran adalah memulihkan perekonomian, sehingga perusahaan dapat berjalan dan mereka bisa kembali bekerja.
Di tengah kondisi seperti sekarang, para penganggur lebih membutuhkan bantuan tunai untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Negara-negara lain yang terkena wabah, seperti Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, dan India, berfokus pada pemberian uang tunai. Malaysia, misalnya, menggelontorkan bantuan tunai langsung sebesar US$ 2,2 miliar atau sekitar Rp 35 triliun untuk keluarga kelas menengah dan bawah selama enam bulan. Pemerintah negeri jiran itu juga mencairkan berbagai dana lain dan beragam subsidi untuk meringankan beban masyarakat, seperti subsidi upah, listrik, dan keringanan pajak.
Pemerintah menganggarkan Rp 20 triliun untuk Kartu Pra-Kerja dengan target 5,6 juta orang. Setiap orang akan mendapat Rp 3,55 juta, yang terdiri atas biaya pelatihan Rp 1 juta, insentif Rp 600 ribu per bulan selama empat bulan, dan dana survei sebesar Rp 150 ribu. Jadi, uang tunai yang mereka kantongi hanya Rp 2,55 juta.
Dengan menggunakan skema ini, Rp 5,6 triliun jatuh ke beberapa perusahaan pemberi pelatihan online. Jumlah itu terlalu besar untuk kegiatan pelatihan. Apalagi salah satu perusahaan yang ditunjuk untuk memberi pelatihan adalah milik salah seorang staf khusus presiden. Tentu ini tidak elok dan sudah banyak menuai kritik.
Pemerintah sepatutnya mengubah saja dana untuk Kartu Pra-Kerja ini menjadi uang tunai. Pemerintah juga harus bersiap-siap bila jumlah pendaftar melebihi kuota yang ditargetkan karena, menurut Badan Pusat Statistik, jumlah pengganggur terbuka per Agustus 2019 sudah mencapai 7,05 juta orang. Hingga Senin lalu saja, hampir 3 juta orang sudah mendaftar.
Seharusnya Jokowi mengalihkan sumber dana lain untuk mengatasi pandemi Covid-19, misalnya anggaran infrastruktur yang sebesar Rp 419,2 triliun dan proyek ambisius seperti pemindahan ibu kota. Prioritas utama pemerintah sekarang adalah menyelamatkan warga dari virus yang belum ada obatnya ini.