Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MELALUI ijtima Komisi Fatwa, MUI baru-baru ini melontarkan polemik tentang ketidakbolehan penggunaan “assalamualaikum” yang diikuti dengan “salam sejahtera untuk kita semua”, “om swastiastu”, “namo buddhaya”, dan “salam kebajikan”, atau dikenal sebagai “salam lintas agama” yang biasa diucapkan pada awal pidato ataupun sambutan acara-acara resmi. Ketua Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni'am Sholeh menjelaskan, pengucapan salam merupakan doa yang bersifat ubudiah dan tidak boleh dicampuradukkan dengan ucapan salam dari agama lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ijtihad Komisi Fatwa MUI ini berbeda dengan Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur pada 2019, yang berpandangan bahwa dalam kondisi serta situasi tertentu hal itu diperbolehkan demi menjaga persatuan bangsa dan menghindari perpecahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Assalamualaikum adalah sapaan yang umum digunakan oleh umat Islam di seluruh dunia. Penggunaannya dapat dilihat dari berbagai dimensi, termasuk ritual dan sosial. Salam yang diucapkan setiap muslim ketika melaksanakan salat ini mencerminkan nilai-nilai inti ajaran Islam, yang menekankan perdamaian, kasih sayang, dan kebersamaan. Istilah “Islam” itu sendiri berasal dari akar kata Arab “s-l-m,” yang berarti damai, penyerahan, dan keselamatan. Karena itu, “assalamualaikum” bukan sekadar salam dalam Islam, tapi juga mengingatkan akan sifat ilahi dari perdamaian, “As-Salam,” salah satu dari 99 nama Allah, yang menyoroti sumber utama perdamaian di alam semesta.
Terlepas dari konteks ritualnya, “assalamualaikum” digunakan dalam interaksi sehari-hari umat Islam. Mereka menggunakannya dalam berbagai situasi—baik saat bertemu dengan teman, memasuki ruangan, memulai pidato, maupun dalam komunikasi tertulis, seperti e-mail dan surat. Salam ini bahkan telah menjadi norma budaya yang berfungsi sebagai cara umum untuk menyapa orang lain, mirip dengan sapaan “halo” atau “selamat pagi” yang digunakan dalam budaya lain.
Pada tingkat sosial, “assalamualaikum” membantu membina rasa kebersamaan dan saling menghormati di antara umat manusia, melampaui perbedaan etnis, budaya, dan bahasa. Dengan mengharapkan perdamaian bagi orang lain, umat Islam mengakui kemanusiaan bersama mereka dan pentingnya hidup berdampingan secara damai, yang berkontribusi bagi pembangunan kehidupan yang lebih harmonis. Hal ini sangat signifikan di dunia saat ini, ketika konflik dan kesalahpahaman kerap terjadi.
Konteks Historis dan Etika
Perdamaian jelas merupakan pesan utama Islam. Setelah berhijrah ke Madinah, Nabi Muhammad mendeklarasikan Piagam Madinah yang menjunjung koeksistensi damai antarpemeluk agama sebagai fondasi penting bagi perkembangan peradaban Islam.
Secara historis, “assalamualaikum” telah menjadi bagian dari budaya Islam sejak zaman Nabi Muhammad, sebagai bagian dari ikhtiar umat Islam membangun perdamaian.
Dalam konteks etika, “assalamualaikum” melampaui kata-kata sapaan belaka. Ia menghendaki tindakan. Melalui salam ini, setiap individu diingatkan akan tugas mereka untuk mempromosikan perdamaian serta harmoni dalam kehidupan pribadi dan komunitas masing-masing. Selain itu, “assalamualaikum” berfungsi sebagai jembatan dalam dialog antarumat beragama dan antarbudaya. Dengan mengucapkan salam, umat Islam dapat berbagi nilai inti dari iman mereka serta mempromosikan saling pengertian dan rasa hormat. Ini membuka pintu untuk percakapan yang bermakna dan penghancuran stereotipe serta kesalahpahaman tentang Islam.
Perspektif Perbandingan
Secara esensial, salam yang serupa dengan “assalamualaikum” ada dalam berbagai tradisi agama lainnya; masing-masing membawa makna budaya dan filosofi yang unik. Semuanya mengandung pesan tentang perdamaian, rasa hormat, dan niat baik bagi sesama umat manusia.
Dalam yudaisme, “shalom aleichem” diterjemahkan langsung menjadi “semoga damai sejahtera besertamu". Seperti “assalamualaikum", ini mengungkapkan harapan akan perdamaian dan kesejahteraan kepada orang yang disapa. Kata “shalom” berarti damai, kesempurnaan, dan kesejahteraan dalam bahasa Ibrani, menangkap rasa harmoni yang holistik. Ia menumbuhkan rasa kebersamaan dan saling menghormati.
Dalam Kristen, frasa “peace be with you” (semoga kedamaian besertamu) juga sering digunakan. Salam ini mengungkapkan harapan agar damai Kristus menyertai individu tersebut. Ia juga berpusat pada konsep perdamaian sebagai berkah ilahi, yang digunakan untuk menumbuhkan rasa kebersamaan dan cinta kasih kepada sesama.
Dalam tradisi Hindu, “om swastiastu” adalah ungkapan yang digunakan untuk mengucapkan doa dan harapan untuk kedamaian. “Om” adalah suara suci dan simbol dalam agama Hindu yang melambangkan alam semesta dan brahman (kesadaran universal). “Swastiastu” berarti kedamaian dan kemakmuran. Baik “assalamualaikum” maupun “om swastiastu” menekankan rasa hormat dan pengakuan terhadap nilai orang lain. Keduanya mempromosikan interaksi harmonis dan rasa keterhubungan.
Dalam Buddhisme, salam “namo buddhaya” (“hormat kepada Buddha”) mengungkapkan rasa hormat dan pengakuan terhadap ajaran Buddha dan sifat Buddha yang melekat dalam diri setiap orang. Salam ini menyampaikan rasa hormat dan pengakuan terhadap perjalanan spiritual bersama, yang bertujuan menumbuhkan rasa damai dan harmoni dalam interaksi. Demikian halnya “salam kebajikan” dalam Konfusianisme, yang menekankan hubungan harmonis dan etika dalam interaksi sosial.
Pembangunan Perdamaian
Meski “assalamualaikum” unik bagi Islam, esensi dan tujuannya beresonansi dengan salam dalam tradisi keagamaan lainnya. Setiap salam, baik itu “shalom aleichem”, “salam sejahtera untuk kita semua”, “om swastiastu” , “namo buddhaya”, maupun “salam kebajikan”, menekankan keinginan manusia universal untuk perdamaian, rasa hormat, dan harmoni.
Salam-salam ini mencerminkan nilai-nilai inti dari keyakinan masing-masing serta berkontribusi pada pembangunan komunitas dan saling menghormati. Meski ada perbedaan dalam kata-kata dan konteks budaya, semuanya berbagi tujuan yang sama: mengakui serta memupuk koneksi ilahi dan damai di antara manusia.
Dalam masyarakat kita yang berkarakter majemuk, yang di dalamnya perpecahan dan konflik masih menjadi ancaman nyata, “salam lintas agama” memiliki makna yang signifikan. Dalam perspektif fikih, hukum sangat ditentukan oleh illat (ratio legis)-nya. Penggunaan “salam lintas agama” terkait erat dengan kenyataan sosial dan politik negeri kita, yang menuntut upaya bersama untuk terus memelihara serta mempromosikan perdamaian.
Nyatanya, ia bahkan sudah menjadi praktik yang lazim di masyarakat. Dalam acara-acara perkumpulan warga di kampung-kampung, ketika terdapat umat agama yang lain, para pemuka masyarakat tidak ragu-ragu menggunakan salam itu untuk menunjukkan penghormatan dan pengakuan untuk sesama warga. Semangat kewargaan menjadi makin kuat dengan “salam lintas agama”.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.