Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Sang romo, rumah dan bambu

Peserta lokakarya teknologi tepat bagi pedesaan di yogyakarta cukup unik. ada yang krempeng, yang gembrot, hitam, bule, dan sebagainya. yang mengesankan, berkenalan dengan seorang pastur, insinyur & seorang seniman.

3 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LOKAKARYA Teknologi Tepat Bagi Pedesaan . Begitu bunyi undangan LP3ES, direncanakan untuk 18 - 20 Desember 1975, bertempat di Yogyakarta. Membingungkan juga istilah itu. Maklum sebagai orang pesantren belum tahu bedanya teknologi tepat dan yang tak tepat. Sedang arti teknologi itu belum dimengerti sepenuhnya (apa sudah benar ditulis teknologi dan bukannya tehnologi dengan huruf h, seperti diucapkan sementara kawan orang Priangan?). Tapi dasar orang pesantren, mengerti tidak mengerti toh berangkat juga. Karena ada kata teknologi dan ada kata pedesaan, anjuran bikin paper dari penyelenggara dilaksanakan dalam bentuk laporan model kampungan. Paper tentang sebuah koperasi pengelasan besi yang menggunakan ubub sebagai pemanas, alias koperasi pandai besi, yang dapat membuat rangka sepeda, jam, laras senapan angin dan sebagainya. Mudah-mudahan sesuai dengan maksud kata teknologi tepat itu. Ternyata, cocok. Itu pabrik-pabrik raksasa dengan produksi barang konsumsi mewah justru tidak tepat bagi negara yang sedang berkembang. O, begitu? Ternyata peserta lokakarya cukup unik juga. Dari yang kerempeng sampai yang gembrot, dari yang pendek sampai yang jangkung, dari yang senang bercanda sampai yang selalu serius, dari yang hitam legam (tapi masih stok Melayu) hingga orang bule yang selalu kegerahan di negeri panas ini. Tapi yang lebih unik adalah papers yang mereka laporkan. Ada orang pesantren yang bergulat dengan tantangan istimewa: bagaimana menumbuhkan pisang yang berbuah sama besar ujung, tengah dan pangkalnya. Herannya, berhasil juga orang itu membuat buah pisang yang berdiameter sama pucuk dan bongkotnya. Caranya: potong ujungnya sewaktu masih dalam jantung pisang". Ada insinyur muda yang siang malam memikirkan cara penghancuran kotoran manusia alias tinja, agar berubah menguap menjadi gas methane untuk berbagai keperluan pembakaran. Prinsipnya adalah membuat kuman-kuman saling bertempur. Kuman pemenang itu akan mencernakan dan merubah si tinja menjadi gas. Hebat juga kuman pemenang ini. Jadi juara sendirian, tidak mau terima hanya menjadi juara bersama seperti Persija dan PSMS tahun ini (eh salah,tahun lalu). Cara memperoleh gas pembakar ini sangat sederhana, walaupun perlu dibuat serem dengan nama asing: digestor. Padahal ia hanyalah jamban biasa ples tempat penyimpanan tinja, yang diatur jangan beri terlalu banyak air dan kemasukan barang-barang keras. Walaupun empuk juga, antibiotika tidak boleh masuk septic tank (sapiteng, kata orang sini), karena akan membunuhi semua kuman. Entah para penggemar jamu manjur cap air mancur, boleh tidaknya menyimpan produk mereka dalam digestor. Peserta lain ada yang membawa contoh kongkrit dari proyeknya: membuat kakus murah. Alhamdulillah, badan-badan asing seperti CARE mau membuatkan disain kakus murah itu untuk kita. Walaupun masih menjadi pertanyaan, apakah kelompok yang hendak dituju dengan proyek ini mau meninggalkan kakus mereka yang lebih murah lagi: kebun di belakang rumah, pinggiran sungai dan sebagainya. Tapi yang paling mengesankan adalah perkenalan dengan tiga orang peserta: seorang pendeta, seorang insinyur PUTL yang tidak mau proyeknya diinpreskan cepat-cepat, dan seorang seniman disain paling orisinil, yang tidak mau menjadi milyuner dari ketrampilan yang dimilikinya. Sang insinyur adalah ir. Suwarno dari Pusat Informasi Bangunan di Yogyakarta. Idenya adalah proyek bantuan 25.000 rumah bagi tiap penduduk pedesaan yang ingin membuat atau merehabilitir rumahnya. Imbalannya adalah kesediaan si penduduk untuk membuat rumahnya menurut bestek dan petunjuk proyek. Bantuan diberikan dalam bentuk rangka jendela, genting kaca, kakus murah, sekat untuk membuat ruangan dalam rumah. Tujuannya adalah membuat rumah sederhana dengan sanitasi, ventilasi dan penerangan yang cukup baik dan sehat. Ide mulia ini menyentuh hati, justru karena ia merupakan kontras sangat menyolok dengan rumah-rumah berharga satu juta rupiah ke atas yang belakangan ini sering dipropagandakan, yang jelas berada di luar jangkauan mayoritas penduduk negara ini. Rupanya kontras ini diakui juga adanya oleh pemerintah. Karena dalam pengantar RAPBN 1976 Presiden Soeharto juga menyebutkan adanya pos anggaran untuk rumah sederhana. Sang seniman adalah disainer tenunan bambu dari Pekalongan, pak Kadir Muhammad aau yang lebih populer dipanggil Kadir Ridaka. Seluruh hidupnya yang tua kini dicurahkan pada upaya bagaimana menenun bambu hingga menjadi kain indah dengan aneka ragam disain. Dasi dari bambu, kain sarung dan saputangan dari bambu, apalagi meubelair yang dibuat begitu praktis, dengan sistim bongkar pasang yang sangat mudah dan memakan waktu hanya beberapa menit. Ada yang khawatir seniman satu ini akan mampu membuat kereta api bambu yang dapat dibongkarpasang dan diringkas dalam sebuah doos karton. Kalau mau pergi, tinggal ke stasiun, dan memasang kereta apinya sendiri di sana. Bisa pusing kepala stasiun. Begitu gandrungnya sang seniman ini dengan kerja menenun bambu dengan ATBM-nya yang terbuat dari bambu juga, hingga ia tidak tertarik kepada tawaran kredit ratusan juta rupiah untuk memprodusir karya-karya bambunya secara masal. Itu urusan orang lain, ia sudah puas dengan menciptakan disain baru dan cara-cara lebih praktis untuk memanfaatkan bambu dalam kehidupan sehari-hari. Sang pastur. adalah romo J.B. Mangunwijaya, kolumnis Kompas, dosen arsitektur di Gajah Mada, "punya" gereja di Jetis, Yogyakarta. Sulit dibayangkan bagaimana ia mengenakan pakaian dinasnya: rambut hingga hampir bahu, pakaian jeans (walaupun tidak blue) dan gaya orang muda. Romo yang satu ini bergulat dengan kerja membuat rumah model perkampungan tingkat bawah di kota-kota besar, atau tungkat menengah-bawah (kalau mau menggunakan klasifikasinya para pabrikan mobil di Detroit). Model yang dipertontonkan adalah sebuah rangka rumah kayu dibangun secara panggung. Dengan lantai kayu atau bambu, tidak perlu lagi menggunakan tempat tidur dan meja kursi. Tinggal mengatur tinggi rendahnya lantai dan dihamparkan tikar rotan atau plastik. Dinding dan atap masih menjadi persoalan: bagaimana membuat yang sederhana tetapi cukup memenuhi persyaratan arsitekturil, cukup menahan air dan terpelihara keamanannya? Sementara digunakan pintalan sabut lapis dua dengan selembar plastik di tengah sebagai atap. Mengapa tidak menggunakan genteng dan batu bata? Komentar sang romo: "Pemerintah menganjurkan dikuranginya pemakaian kayu untuk bangunan". Lantas genteng dan batu merah itu membakarnya memakai apa umumnya? Toh kayu juga. Apa tidak lebih baik kayu pembakar itu dimanfaatkan dalam pembuatan rumah murah yang benar-benar murah? Di sinilah terletak tantangan bagi teknologi tepat, untuk menyediakan bahan-bahan murah dan mudah didapat, untuk diolah menjadi produk artistik yang sesuai dengan selera orang masa kini. Obsesi sang romo yang satu ini, dengan proyek rumah kayu panggungnya, bersumber pada kesimpulannya tentang pengaruh besar dari pola selera (dengan sendirinya pola konsumsi sumber-sumber alam yang semakin langka) dari penduduk "kampung" di kota-kota besar atas pembentukan selera mayoritas penduduk pedesaan. Kalau penduduk gang sempit di kota dapat diyakinkan akan murahnya membuat rumah panggung kayu sebagai tempat tinggal yang baik dan kuat, tidakkah ini akan menghilangkan kecenderungan semakin meluas untuk membangun rumah batu ala kota di pedesaan? Tidak heranlah jika ketiga manusia di atas menjadi saling memerlukan. Sang insinyur dengan rumah sederhananya,sang seniman dengan percobaan disain tenunan bambunya, dan sang romo cuma arsitek yang gila pada rumah panggung dari kayu (yang pada dirinya merupakan penggalian warisan budaya bangsa yang telah teruji sekian lama). Tak heran jika kemudian sang romo tertarik pada kemungkinan menggunakan tenunan bambu bagi dinding rumah kayunya, asal dapat dibuat menjadi kuat dengan disain menarik. Begitu pula sang seniman cum designer, lalu terbenam dalam kemungkinan penggunaan bambu semaksimal dan sepraktis mungkin dalam model rumah seperti itu. Harus dipikirkan pengawetan bambunya dalam kwantitas besar-besaran, apalagi untuk membuat atap yang tahan air. Begitulah kira-kira bayangan tentang teknologi tepat yang diperoleh dari lokakarya: teknologi praktis berukuran kecil, dengan kegunaan penuh bagi perbaikan kehidupan di pedesaan. Kalau teknologi ini kemudian hari mampu menyaingi teknologi serba masinal dengan produksi barang mewahnya yang tak terjangkau oleh mayoritas bangsa, akan terbuktilah bahwa yang kecilpun dapat mengendalikan yang besar. Kalau tidak berhasil menyaingi, setidak-tidaknya akan mengingatkan kita kepada pentingnya menegakkan prioritas produksi yang tidak merusak keseimbangan sumber-sumber alam. Tidakkah ia pantas dinamai teknologi tepat?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus