Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di dalam Anggaran Dasar 1926 yang sebenarnya disusun tahun 1929, NU menetapkan tujuannya untuk mengembangkan Islam dengan enam butir: (1) memperkuat persatuan di antara sesama ulama penganut ajaran-ajaran empat mazhab, (2) meneliti kitab-kitab yang akan digunakan untuk mengajar agar sesuai dengan ajaran ahlussunnah wal jamaah, (3) menyebarkan ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran empat mazhab, (4) memperbanyak jumlah lembaga pendidikan Islam dan memperbaiki organisasinya, (5) membantu pembangunan masjid, surau, pondok pesantren, serta membantu kehidupan anak yatim dan orang miskin, dan (6) mendirikan badan-badan untuk meningkatkan perekonomian anggota. Dua butir terakhir dari tujuan tersebut adalah tujuan ekonomi.
Selain itu, terdapat tiga pilar utama yang dianggap mendasari semangat pendirian NU: (1) Nahdlatul Waton (nasionalisme dan politik), (2) Taswirul Afkar (pemikiran keilmuan dan keagamaan), dan (3) Nahdlatul Tujjar (pemberdayaan ekonomi). Aslinya, Nahdlatul Tujjar adalah pergerakan kaum saudagar, yang merupakan responanti kolonialisme masyarakat setelah sebelumnya muncul organisasi Nahdlatul Wathan (kebangkitan pemikiran) di tahun 1916 dan Taswirul Afkar/Nahdlatul Fikri (kebangkitan pemikiran) di tahun 1918. Saat ini, Nahdlatul Tujjar dianggap sebagai sistem ekonomi yang didukungoleh NU. Sistem ekonomi ini secara lengkap disebut sebagai Nahdlotut Tujjaar Wal Fallahiin dengan prinsip Syirkah (kooperasi). Nahdlotul Tujjar dicirikan dengan penempatan rakyat Indonesia sebagai pemilik dan pelaku aktivitas ekonomi yang tidak semata-mata menjadi pembeli atau konsumen perusahaan dan penguasa modal.
Karena itu, tidak mengherankan jika hingga sekarang fokus utama dalam program berbagai organisasi di bawah bendera NU salah satunya adalah bidang ekonomi. Sejumlah perguruan tinggi di bidang ekonomi juga beradadi bawah yayasan yang dikelola kader NU. Sebagai contoh, STIENU (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi NU) yang dikelola oleh YAPTINU (Yayasan Pendidikan Tinggi NU). NU juga memiliki LPNU (Lembaga Perekonomian NU) yang merupakan agen pelaksana yang berkonsentrasi pada masalah teknis dan berinteraksi langsung dengan pengurus bawah maupun masyarakat dalam melaksanakan program ekonomi PWNU (Pengurus Wilayah NU) maupun menghimpun aspirasi terkait ekonomi. Sementarake arah bawah PWNU mengembangkan mentalitas masyarakat lewat pelatihan dan pengarahan ekonomi (termasuk pengajian dan diskusi), ke arah atas PWNU meminta kerjasama dan dukungan bagi program pengembangan ekonomi mereka. Komunikasi yang diselenggarakan ke masyarakat cenderung informal dengan rapat yang terbuka, santai, dan nyaman sehingga tidak memperlihatkan formalitas.
Karakteristik program NU masa kini adalah berorientasi pada penguatan produk lokal, pengembangan jejaring bisnis, maupun upaya peningkatan indeks kesejahteraan masyarakat. NU juga membangun kios modern di pesantren dan memasarkan produk mereka melalui media sosial serta bekerjasama dengan dinas-dinas UMKM sebagai upaya formal.
Walau terkesan selalu berjalan beriringan denganpemerintah, pernah NU dalam sejarahnya berseberangan dengan pemerintah terkait masalah ekonomi. Pada tanggal11-13 Oktober 1961 misalnya, Pengurus Besar SyuriahNU II melalui forum Bahtsul Masail, memutuskan bahwa kebijakan reformasi agraria pemerintah sebagai sesuatu yang haram, kecuali untuk keadaan darurat. Alasan keputusan ini adalah bahwa Islam membebaskan manusia untuk memiliki tanah sepanjang tidak berlebihan dan tidak melanggar hak orang lain (laa dharaara wa laa dhiraara). Pada masa Khalifah Umar pun, khalifah tidak mengambiltanah miliki masyarakat Irak dan Syam yang ditaklukkan, tetapi memungut kharaj dan jizyah dari mereka. Sementara itu, kebijakan reformasi agraria pemerintah saatitu mengambil alih kepemilikan tanah dari masyarakat. Keputusan ini dikeluarkan walaupun UUPA 1960 turut dirancang dan telah disetujui oleh Partai NU di parlemen.
Sejalan dengan hal ini pula, pada tanggal 19 Januari 1965, KH Idham Chalid dalam sidang Dewan Pertimbangan Agung, mengutuk hibah dan wakfa palsu dan meminta diusutnya tindakan tersebut. KH Wahab Chasbullah menuntut keadilan dan KH Farid Ma’ruf mengkritik adanya tuan tanah yang mendapat bantuan dari para pejabat yang korup.
Pada saat itu, NU memiliki organisasi bernama Pertanu (Pertanian NU) yang berdiri tanggal 13 September 1954 yang disahkan dalam Muktamar XX di Surabaya. Pertanu berkembang pada kisaran tahun 1955-1958 dengan banyak cabang di berbagai daerah. Dalam struktur organisasinya, Pertanu memiliki tiga seksi: seksi penerangan, seksi agraria, dan seksi sosial-ekonomi, termasuk di dalamnya koperasi, perdagangan, dan simpan pinjam. Dewan Penasihat Pertanu terdiri dari Bagian Penerangan dan Pendidikan (KH Wahab Chasbullah), Bagian Agraria (Mohammad Hanafiah), Bagian Pertanian-Perkebunan (Zaenal Arifin), dan Bagian Sosial Ekonomi (KH Idham Cholid). Pertanu berjuang aktif dalam membela dan memperjuangkan kaum tani saat mereka diusir dan diambil alih tanahnya kembali pasca 1965. Peran serta mereka sangat penting kala itu dimana sentimen anti PKI sangat besar dan perampasan tanah dapat dijustifikasi oleh tuduhan bersimpati terhadap PKI. Dengan adanya Pertanu dibelakang petani, para penyerobot tanah tidak dapat menggunakan argumen pro PKI sebagai landasan ketidakadilan mereka terhadap para petani.
Hingga sekarang, permasalahan ekonomi terkait agrariamasih terasa. Pada 4 November 2017 dalam Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU 2017 di Lampung, temayang diangkat adalah Penguatan Organisasi Menuju Satu Abad NU dan Reforma Agraria untuk Pemerataan Kesejahteraan Warga. Rois Aam Pengurus Besar NU KH Ma’ruf Amin menekankan mengenai kesenjangan ekonomi dan sosial yang masih ada di masyarakat akibat kurangnya pemerataan, khususnya kepemilikan sumber agraria. Begitu pula, Munas NU di Lombok, 24-26 November 2017, juga mengambil penguatan ekonomiwarga sebagai tema besar.
Sementara itu, di kalangan pemuda NU, saat ini ada Nahdlatus Syabbaab yaitu kebangkitan bersama untuk memperjuangkan Islam Nusantara. Islam Nusantara adalah Islam ahlussunnah wal jamaah yang berjuang melawan radikalimse agama dan radikalisme pasar. Jadi, kekuatan kapitalisme ekonomi bebas dianggap sebagai satu bentuk radikalisme pula, sama seperti memandang terorisme atas nama Islam. Kekuatan kapital ini berbahaya karena dapat memiskinkan masyarakat sekaligus masuk ke dalam aspek politik-keagamaan dalam bentuk takfiri atau pengkafirankepada kelompok lain.
Semenjak MUI menjadi organisasi rujukan utama pemerintah di era reformasi, maka NU bertindak sebagai pendukung yang antusias. Sebagai contoh, ketika DSN MUI pada tahun 2003 menyatakan bahwa bunga adalah haram, PP LPNU segera melakukan simposium asuransi syariah untuk mengetahui dampak fatwa tersebut pada industri asuransi syariah nasional dan implikasinya bagipengusaha asuransi syariah.
Walau begitu, di masa Orde Baru, NU bersama organisasi-organisasi Islam lainnya memang cenderung kurang positif dan bahkan tidak menyukai MUI. Alasannya wajar, karena MUI pada awalnya didirikan oleh penguasa Orde Baru untuk mengendalikan organisasi-organisasi Islam, khususnya yang kritis terhadap pemerintah. NU merupakan organisasi Islam terbesar yang berseberangan dengan Soeharto dan karenanya MUI merupakan instrumen penting menekan NU.
Di masa kini, sebagian besar pengurus MUI merupakan kader NU. Jadi telah ada semacam perubahan paradigma yang besar dalam relasi antara MUI dan NU. Sepanjang satu abad ini, NU telah berjuang mengembangkan ekonomi umat, kemudian ditekan oleh Orde Baru melalui MUI, namun berhasil mempersatukan diri ke dalam MUI. Walau secara organisatoris telah terjadi dinamika yang cukup intens, persoalan ekonomi di tataran bawah masih terus terjadi dan menjadi PR bagi MUI bersama dengan NU dan organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan lainnya untuk segera diselesaikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini