Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Papeir, papeir…,” teriak seorang Belanda dari dalam kamar mandi. Karena kertas di dalam kamar mandi sudah habis, ia meminta sang bediende mengambilkannya. Pembantunya itu tak bisa berbahasa Belanda, tapi ia tahu untuk apa kertas itu. Ia pun merasa geli kalau harus membayangkan bagian belakang yang alih-alih dicuci dengan air sehabis buang hajat, melainkan hanya dilap dengan kertas. Maka, sejak saat itu, muncullah kata ”peper” di jagat kosakata Nusantara ini, untuk konsep ”membersihkan tidak dengan air—dan karena itu terkesan jorok”.
Benar-tidaknya cerita itu tidaklah penting. Yang pasti, kita memang tidak memiliki catatan tentang asal-usul kata. Pedoman pengindonesiaan kata sudah ada sejak 1970-an. Lembaga Pusat Bahasa sudah genap 30 tahun berdiri. Tapi selama ini pula kita selalu bingung jika harus mencari tahu—entah dengan alasan iseng atau ilmiah—dari mana asal-usul kata ”amarah”, ”amoral”, ”alumni”, dan ”almari”, misalnya.
Karena etimologi atau ilmu asal-usul kata tidak ada di kamus Indonesia mana pun, satu-satunya cara yang tersisa adalah ”ilmu tebak”. Barangkali gampang menebak bahwa kata ”gelas” itu ada hubungannya dengan glass bahasa Inggris atau glas (Belanda, Jerman) atau glace (Prancis). Agak sulit tapi masih bisa dicari adalah kata ”dongkrak”, yang ternyata dari dommekracht (Belanda). Sedangkan ”lihai” yang berarti pintar mungkin dari bahasa Cina. Lebih sulit adalah merunut kata ”ketoprak”, yang bisa berarti makanan yang terdiri dari ketupat, tahu, dan bihun yang dibumbui kacang, tapi juga berarti pertunjukan seni seperti wayang orang. Jauh berbeda.
Secara kebetulan sebuah kata dari satu bahasa memang bisa sama persis dengan bahasa lain, meskipun kata itu tak ada hubungannya sama sekali. Tapi biasanya hal ini terjadi untuk kata-kata sederhana yang terdiri dari satu atau dua suku kata. Misalnya kata ”yang”, dalam bahasa Jawa berarti ”pacar”, dalam bahasa Cina berarti matahari, dalam bahasa Inggris (ucapan) berarti muda. Tapi mereka ini tentu bukan kerabat. Sedangkan kata ”ketoprak” bukan kata sederhana. Tentu ada alasannya mengapa ”ketoprak” bisa memiliki dua arti yang berbeda sama sekali.
Tugas siapakah untuk menjelaskan hal semacam ini? Sudah saatnya Pusat Bahasa menambahkan etimologi dalam kamusnya. Dalam sebuah diskusi pernah dinyatakan bahwa Pusat Bahasa tidak berani menambahkan etimologi karena sebagian besar kata yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak bisa dilacak asal-usulnya, karena tak ada sumber, entah itu dari sumber tertulis maupun lisan yang dapat dipercaya.
Alhasil, untuk menghilangkan kebiasaan kita yang suka menebak, yang kemungkinan bisa meleset, ada baiknya Pusat Bahasa berpegang pada semboyan ”lebih baik sedikit daripada tidak sama sekali” dalam pencantuman etimologi. Jika sumber tulisan tidak ada, bisa dilacak dengan cara menanyakan ke narasumber yang layak dan dapat dipercaya. Hal itu perlu segera dilakukan sebelum kita kehilangan narasumber senior yang ikut mengalami perang kemerdekaan. Dari merekalah bisa banyak digali kata-kata yang berhubungan dengan bahasa para ”penjajah”: Belanda, Inggris, Jepang. Para ”senior” kita mungkin akan mengoreksi cerita di atas, bahwa sebenarnya yang meminta kertas bukan orang Belanda (papier), tapi orang Inggris, ”Paper, paper….”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo