Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berharap Tak Jadi Bumerang

Perekonomian Indonesia pada ”Tahun Anjing Api” ini belum akan menyala. Kebijakan fiskal kunci upaya pemulihan.

2 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA hari menjelang tutup tahun, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggelar sidang maraton. Bertempat di gedung kepresidenan, Jakarta Pusat, selama enam jam Presiden bersama para menterinya membahas agenda kerja di tahun ini.

Satu di antara fokus bahasan dalam sidang kabinet paripurna, Rabu malam lalu itu, tentulah menyangkut ekonomi Indonesia. Maklum, sejak pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak ratarata 126 persen pada 1 Oktober lalu, perekonomian domestik ibarat lesu darah.

Menurut kalkulasi Bank Indonesia, pertumbuhan ekonomi sepanjang 2005 hanya akan mencapai kisaran 5,35,6 persen. Padahal, di awal pemerintahannya, SBY mencanangkan dalam kurun lima tahun (20042009) pertumbuhan ekonomi ratarata per tahun harus mencapai 6,6 persen.

Pertumbuhan setinggi itu diperlukan untuk menurunkan tingkat pengangguran, dari 9,7 persen menjadi 5,1 persen, pada akhir 2009. Hanya dengan pencapaian itu pula tingkat kemiskinan baru bisa dipangkas setengahnya dari 16,6 persen menjadi 8,2 persen selama lima tahun.

Melihat kenyataan sekarang, impian itu tampaknya masih jauh panggang dari arang. Padahal, sisa waktu yang tersisa tinggal tiga tahun. Karena itulah Presiden, dalam sidang kabinet itu, menutup akhir 2005 dengan mengeluarkan empat arah kebijakan ekonomi yang harus dijalankan pada ”Tahun Anjing Api” ini.

Salah satu arahannya, tim ekonomi kabinet, yang kini ”dilurahi” Menteri Koordinator Perekonomian Boediono, diminta kembali menggenjot pertumbuhan ekonomi. ”Kami ingin tahun ini tidak menjurus pada tren perlambatan seperti 2005,” kata Boediono seusai sidang kabinet.

Tim ekonomi juga diminta menjaga stabilitas ekonomi, khususnya menekan laju inflasi kembali ke level satu digit—dari angka tahun ini yang diperkirakan mencapai 18 persen. Tugas berikutnya adalah menciptakan lapangan kerja dan menanggulangi kemiskinan. Sebab, tahun lalu tingkat pengangguran justru membengkak menjadi sekitar 10,8 persen.

Setumpuk pekerjaan itu jelas bukan perkara enteng buat tim Boediono. Apalagi, berbagai perhitungan yang ada menyebutkan perlambatan ekonomi masih akan berlangsung hingga akhir semester pertama, bahkan hingga kuartal ketiga tahun ini.

Lihat saja kalkulasi Bank Indonesia. Dari hasil rapat Dewan Gubernur BI, pada 13 Desember lalu, disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tahun lalu diperkirakan hanya sebesar 5,35,6 persen—merosot dari 6,2 persen pada tahun 2004—tahun ini masih akan berkutat di kisaran 5,05,7 persen.

BI juga menyebutkan, perlambatan ekonomi masih akan terjadi pada triwulan kedua dan ketiga tahun ini. Penyebabnya tak lain adalah penurunan kegiatan konsumsi dan investasi masyarakat, setelah daya belinya terpukul oleh kenaikan harga BBM, melemahnya kurs rupiah, dan meningkatnya suku bunga bank.

”Karena itu, pertumbuhan ekonomi 2006 akan sangat ditentukan oleh kinerja konsumsi dan investasi, yang pada triwulan keempat 2006 diperkirakan akan membaik,” kata Hartadi A. Sarwono, Deputi Gubernur BI.

Perkiraan ini tak jauh berbeda dengan ramalan sejumlah ekonom (lihat tabel Indikator Ekonomi 2006). Penyebabnya, pertumbuhan ekonomi masih akan terganjal oleh tingginya tingkat inflasi akibat kenaikan harga BBM dan suku bunga tinggi yang diperkirakan masih akan berlangsung hingga tahun depan.

BI memperkirakan, inflasi tahunan (year on year) masih akan mencapai 18 persen pada triwulan pertama, dan 16,7 persen pada triwulan ketiga tahun ini. ”Setelah itu, baru berangsurangsur turun menjadi sekitar 8 persen di akhir 2006,” kata Hartadi.

Itu sebabnya Fauzi Ichsan, ekonom Standard Chartered, juga memperkirakan kurs rupiah pada semester pertama ini masih rentan dan baru akan pulih ke posisi Rp 9.500 per US$ 1 pada akhir tahun nanti. Untuk mengawal rupiah dan inflasi itulah, Hartadi menyatakan, pengendalian likuiditas yang ketat dan kenaikan BI rate—suku bunga patokan bank sentral— masih akan berlanjut.

Menurut taksiran Anton Gunawan, ekonom Citigroup, BI rate yang kini 12,75 persen masih akan naik ke level tertinggi 13,5 persen dalam tiga bulan mendatang. Namun, pada akhir tahun, bakal turun kembali menjadi 11 persen, seiring dengan penurunan inflasi yang saat itu diperkirakan tinggal 8,6 persen.

Perkiraan Fauzi tak jauh berbeda. Bunga sertifikat BI berjangka satu bulan diperkirakannya masih akan naik menjadi 14,25 persen pada kuartal pertama tahun ini, sebelum akhirnya turun ke level 12 persen pada akhir tahun.

Melihat kondisi itu, Morgan Stanley bahkan memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan mencapai 5,2 persen sepanjang tahun ini. Angka perkiraan itu jauh lebih rendah ketimbang perhitungan pemerintah 6,2 persen dan konsensus pasar 5,7 persen.

”Kekhawatiran kami terutama menyangkut soal investasi dan pembentukan modal di Indonesia, yang masih menghadapi dua risiko,” kata Daniel Lian, analis Morgan Stanley Equity Research (Singapura), awal November lalu.

Risiko pertama yang dimaksudkannya, Indonesia—tidak seperti Thailand—punya problem fiskal untuk bisa secara aktif mendukung pembiayaan dan investasi dalam proyekproyek infrastruktur. Kedua, masuknya investasi asing dalam proyek merger dan akuisisi, yang selama ini tak berjalan maksimal, tampaknya bakal kian susut.

Menurut ekonom Faisal Basri, melambatnya pertumbuhan ekonomi ini merupakan harga mahal yang harus dibayar pemerintah akibat kebijakan kenaikan harga BBM yang overdosis. Dikatakannya, ia tak alergi pada kenaikan harga BBM. Yang jadi soal, besaran kenaikan itu jauh di atas kemampuan masyarakat.

Akibatnya, proses konsolidasi perekonomian, yang seharusnya mulai bisa berjalan tahun ini, tertunda. ”Ini bumerang bagi perekonomian nasional,” ujarnya dalam sebuah seminar di kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sabtu dua pekan lalu.

Anton punya pandangan berbeda dalam hal ini. Bagaimanapun, kata Anton, ”Pengurangan subsidi BBM secara signifikan pada 2005 telah menciptakan fondasi yang kuat untuk keberlanjutan anggaran pemerintah di tahun 20062007.”

Terhadap berbagai prediksi itu, pemerintah sendiri tak menampik skenario pesimistis yang bermunculan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahkan sudah memberi sinyal bahwa target ekonomi yang dipatok pemerintah 6,2 persen bakal meleset.

Estimasi dari berbagai versi, kata Sri seusai menghadap Presiden dua pekan lalu, semuanya menunjukkan angka pertumbuhan ekonomi 5,35,7 persen. ”Angka itu lebih rendah dari angka APBN 2006 sebesar 6,2 persen,” ujarnya. ”Proyeksi itu akan menjadi bahan pemerintah dalam membuat kebijakan.”

Nada lebih optimistis justru datang dari Bank Pembangunan Asia (ADB). Dalam pernyataannya, Senin pekan lalu, lembaga kreditor internasional ini memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bisa naik dari 5,5 persen sepanjang tahun lalu menjadi 5,9 persen pada tahun ini.

Menurut Cyrillus Harinowo, mantan Direktur Eksekutif IMF di Washington, memang tak gampang membalikkan kembali tren pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dari sisi kebijakan moneter, BI perlu keberanian untuk sedikit ”bermain” dengan perlahanlahan mengendurkan likuiditas.

Caranya, besaran setoran giro wajib minimum perbankan ke bank sentral sedikit demi sedikit diturunkan, meski BI tetap mengendalikan likuiditas lewat kebijakan suku bunga tinggi. ”Jadi, main di price, bukan di quantity,” ujarnya. Kebijakan ini dipandang perlu agar roda perekonomian tetap bisa bergerak. ”Kalau terlalu ketat, bisa memperkeruh keadaan.”

Dari sisi kebijakan fiskal, suara para ekonom hampir satu: tumpuan pemulihan ekonomi terletak pada upaya memaksimalkan belanja pemerintah. Selain juga menggenjot pembiayaan yang tertunda atas proyekproyek infrastruktur dan pemulihan AcehNias.

Karena itu, Boediono menyatakan, dana APBN 2005 yang masih tersisa akan segera dibelanjakan, dan anggaran negara tahun 2006 pun akan sesegera mungkin direalisasi. Selain itu, pelaksanaan proyek yang didanai utang luar negeri, senilai total Rp 35 triliun, akan dipercepat. Jadi, kata Boediono, masalah fiskal akan menjadi titik sentral kebijakan ekonomi dalam enam bulan ke depan.

Metta Dharmasaputra, Budi Riza, Syaiful Amin (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus