Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Selamatkan NU dari Politik Uang

Ribut-ribut dalam Muktamar Nahdlatul Ulama sebetulnya hal biasa. Organisasi Islam terbesar di Indonesia itu memang akrab dengan perdebatan dan perbedaan pendapat. Namun, bila Ahad lalu Muktamar NU di Jombang, Jawa Timur, ricuh karena isu politik uang, itu baru tidak biasa.

4 Agustus 2015 | 00.46 WIB

Selamatkan NU dari Politik Uang
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Ribut-ribut dalam Muktamar Nahdlatul Ulama sebetulnya hal biasa. Organisasi Islam terbesar di Indonesia itu memang akrab dengan perdebatan dan perbedaan pendapat. Namun, bila Ahad lalu Muktamar NU di Jombang, Jawa Timur, ricuh karena isu politik uang, itu baru tidak biasa.

Ada dua hal yang terjadi dalam muktamar. Pertama, pasal dalam tata tertib sidang yang membahas soal mekanisme pemilihan Ahwa (Ahlul Halli wal Aqdi). Kedua, isu mengenai jual-beli suara dalam muktamar.

Perkara pertama adalah pemicu perdebatan yang berujung pemukulan di arena sidang. Pasal itu menetapkan bahwa pemilihan Rais Aam dilakukan secara musyawarah dan mufakat melalui mekanisme Ahwa. Dalam mekanisme ini, peserta tidak memilih langsung Rais Aam, melainkan memilih sembilan kiai. Para kiai terpilih inilah yang kemudian akan memilih Rais Aam.

Sebetulnya mekanisme Ahwa ini sudah diputuskan dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Jakarta sebelum muktamar digelar. Namun, hingga menjelang muktamar, masih ada beberapa cabang atau organisasi NU yang berbeda pendapat. Mereka menginginkan pemilihan Rais Aam secara langsung. Perbedaan pandangan inilah yang lantas menyeruak dalam sidang pleno dan menjadi perdebatan panas.

Di tengah keributan soal pasal ini, muncul pula isu soal politik uang. Seorang utusan daerah NU mengklaim punya bukti adanya orang yang membagi-bagikan uang di arena muktamar. Andi Jamaro, mantan Ketua PBNU, juga mengatakan ada kelompok yang berusaha membeli suara setiap pimpinan cabang NU dengan harga masing-masing Rp 15 juta agar bersedia mendukung Ahwa.

Keputusan Rais Aam Pengurus Besar NU KH Mustofa Bisri yang kemudian mengintervensi masalah ini dan mencabut pasal mengenai Ahwa kemarin merupakan langkah yang tepat. Penghapusan masalah Ahwa ini telah menghentikan perdebatan berkepanjangan dalam muktamar. Bila tidak segera dihentikan, hal ini mungkin berujung pada kekerasan atau sekurang-kurangnya membuat muktamar berlangsung berlarut-larut.

Namun langkah Gus Mus-panggilan bagi Mustofa Bisri-ini barulah menyelesaikan masalah pertama. NU perlu pula menyelesaikan masalah kedua: politik uang. NU, sebagai organisasi massa yang dipimpin para ulama, harus menjernihkan soal tuduhan adanya uang haram dalam muktamar ini.

PBNU sebaiknya segera membentuk tim independen untuk menyelidiki masalah ini. Apa pun hasil penyelidikan itu nanti perlu disampaikan kepada publik. Bila tidak ada politik uang, tim itu harus segera mengumumkannya. Bila memang terjadi, NU harus bertindak tegas: menyerahkan para pelakunya ke polisi.

Nahdlatul Ulama, melalui para kiainya, seperti mendiang Abdurrahman Wahid dan Mustofa Bisri, selama ini telah banyak memberi teladan dan tuntunan moral bagi masyarakat Indonesia. Sudah sewajarnya bila rakyat Indonesia, meskipun bukan warga NU, berharap organisasi yang berdiri pada 1926 ini bersih dari praktek kotor politik uang. Sebab, bila ini yang terjadi, NU akan tercemar, seperti organisasi dan partai politik lain yang biasa bermain fulus. Para nahdliyin pasti tak menginginkan hal itu terjadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus