Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Alvin Nicola
Peneliti Transparency International Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Masyarakat sudah sepatutnya curiga atas penolakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk membuka rincian anggaran Kementerian Pertahanan tahun 2020. Dalam rapat kerja perdana dengan Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, dua pekan lalu, Prabowo berdalih bahwa informasi seputar postur pertahanan merupakan rahasia negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sebagai penerima alokasi anggaran terbesar di antara kementerian/lembaga lainnya, yakni sebesar Rp 127,357 triliun, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2020, sangat wajar apabila Prabowo dimintai kejelasan tentang peruntukan anggaran tersebut. Apalagi dominannya belanja pegawai dalam komposisi anggaran justru bertolak belakang dengan semangat modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) sebagaimana arah kebijakan presiden.
Informasi yang terbuka dan rinci merupakan prasyarat penting dalam membangun tata kelola sektor pertahanan yang efisien dan efektif. Di tengah situasi elite-elite politik telah terkonsolidasi, kembali menguatnya ikatan bisnis-militer dan pendekatan kekuatan militer yang eksesif dalam mengontrol ruang-ruang sipil, keberadaan dokumen anggaran yang transparan dan akuntabel menjadi satu-satunya alat bagi publik untuk mengawasi kebijakan pertahanan dari hulu hingga ke hilir.
Klaim kerahasiaan anggaran dalam sektor pertahanan tidak lagi bisa diterima pada masa kini. Pengecualian informasi mungkin saja dapat dibenarkan dalam tingkatan tertentu jika dalam kondisi perang. Faktanya, doktrin kerahasiaan anggaran atas nama "keamanan nasional" lebih sering digunakan sebagai pelindung untuk melanggengkan praktik korupsi dan suap.
Retorika yang sama sudah banyak digunakan di beberapa negara totaliter, seperti Cina dan Korea Utara, yang anggaran negara yang telah disetujui parlemen pun bahkan tidak dapat diakses oleh publik. Di Indonesia, slogan-slogan populisme, seperti "kepentingan umum", "produk dalam negeri", dan "bela negara", berkali-kali digunakan demi menjustifikasi belanja anggaran yang sebenarnya tidak dibutuhkan.
Dalam rentang 10 tahun terakhir saja, cukup banyak kasus korupsi di sektor pertahanan yang terungkap, seperti pengadaan pesawat tempur Sukhoi 30 MK2 dari Rusia (2012), korupsi pembayaran pesawat F-16 dan helikopter Apache (2010-2014), dugaan suap dalam penambahan anggaran Badan Keamanan Laut untuk pengadaan satelit monitoring dan drone (2016), hingga kasus korupsi pengadaan helikopter Agusta-Westland-101.
Klaim "keamanan nasional" ini juga bermasalah secara hukum. Anggaran di sektor pertahanan, baik pemasukan maupun belanja, bukan informasi yang dikecualikan menurut Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Maka, Kementerian Pertahanan wajib membuka rincian anggaran tersebut setiap tahun.
Kondisi sekarang menunjukkan bahwa Kementerian Pertahanan belum memahami Prinsip-prinsip Tshwane tentang Keamanan Nasional dan Hak Atas Informasi 2013. Prinsip yang dirancang oleh 22 organisasi masyarakat sipil dan pusat-pusat akademik internasional ini telah memberikan pedoman konkret tentang sejauh mana kerahasiaan informasi dapat dibenarkan, termasuk anggaran sektor pertahanan. Ketika informasi harus dibatasi, prinsip ini mendorong pemerintah meregulasi aturan pengecualian tersebut dalam undang-undang dan harus membuktikan urgensi kepentingan keamanan nasional.
Upaya mendorong keterbukaan anggaran ini menjadi bagian penting dalam pembenahan tata kelola sektor pertahanan. Indonesia masih berada dalam kategori risiko "Band D", atau berarti berisiko korupsi tinggi, dalam Indeks Risiko Korupsi di Tata Kelola Sektor Pertahanan (2013 dan 2015) oleh Transparency International. Indeks itu menegaskan bahwa pekerjaan rumah terbesar Indonesia terdapat dalam aspek keterbukaan penganggaran, selain perlunya pembenahan menyeluruh di aspek politik, personel, operasional, serta pengadaan barang dan jasa. Dengan kata lain, jaring pengaman antikorupsi harus dikembangkan di setiap area tersebut, termasuk penguatan fungsi kontrol parlemen.
Kementerian Pertahanan seharusnya hanya menerapkan alasan keamanan nasional ketika benar-benar dibutuhkan dengan menyertakan indikator yang proporsional, alih-alih digunakan untuk menghindari pertanggungjawaban publik. DPR bersama Kementerian Pertahanan perlu mengatur definisi terukur tentang "keamanan nasional" dan mengintegrasikannya dalam pedoman klasifikasi informasi untuk mencegah penggunaan pengecualian yang berlebihan.
Apa pun alasannya, Kementerian Pertahanan yang dipimpin Prabowo seharusnya tidak perlu khawatir membuka anggarannya. Banyak negara, seperti Amerika Serikat, Kosta Rika, dan Selandia Baru, telah membuktikan komitmen untuk menginformasikan anggaran pertahanan dapat terlaksana secara paralel dengan penegakan akuntabilitas. Secara alamiah, jika keterbukaan anggaran beranjak baik, mekanisme akuntabilitas internal dan eksternal akan terus berjalan.