HASIL sensus penduduk 1980, begitu keluar mendadak sontak jadi
populer, tidak cuma di kalangan ahli tapi juga di kalangan awam.
Sensus yang paling tersohor untuk Indonesia, disoroti di dalam
dan luar negeri. Tahun 1971 Indonesia dihuni 119,2 jiwa, 1980
dihuni 147,4 juta, pertambahan rata-rata 2,34%. Klop dengan
judul kretek Ji Sam Su, alias 234. Konsekuensinya, sensus yang
terkenal itu (di kalangan mulut usil) dijuluki Sensus Ji Sam
Su.
Yang senantiasa mengejutkan ialah, kecuali jumlah penduuk yang
tentunya terus melejit ketiga sensus setelah kemerdekaan (1961,
1971 dan 1980) menunjukkan laju pertumbuhan penduduk yang
meningkat. Begitulah, penduduk Indonesia bertambah rata-rata
1,5% pada periode 1930-1961, lalu 2,1% pada periode 1961-1971
dan kemudian 2,3% pada periode 1971-1980.
Pulau Jawa? Setali tiga uang. Penduduk Pulau Jawa mengalami
pertambahan rata-rata 1,3% antara 1930-1961, lalu 1,9% antara
]961-1971, kemudian 2,0% antara 1971-1980.
Sensus-sensus tersebut menunjukkan pula bahwa pertambahan
penduduk Pulau Jawa senantiasa lebih rendah dari luar Jawa.
Walau tidak ada program KB ternyata tingkat fertilitas penghuni
Pulau Jawa lebih rendah.
Dengan begitu Pulau Jawa sudah mendobrak sebuah teori
kependudukan: ada hubungan negatif antara usia kawin dan
fertilitas. Maksudnya, kalau usia kawin rata-rata lebih rendah
jumlah anak lebih banyak. Pulau Jawa menyangkal itu. Penduduknya
kawin pada usia lebih rendah tapi punya anak lebih sedikit dari
orang luar Jawa. Mengapa? Mungkin ada sumbangan cara KB
tradisional, ditambah keretakan perkawinan, ditambah faktor
kemandulan. Entahlah, belum jelas betul duduk soalnya.
Sumatera bukan main. Pertumbuhannya cepat sekali, berkat tingkat
kelahiran yang cukup tinggi dan migrasi. Kalau terus tumbuh
sebesar 3,3% per tahun, penghuni pulau itu bakal lipat dua dalam
21 tahun. Tidak mustahil, untuk mereka akan disiapkan program
transmigrasi keluar Sumatera sekitar tahun 2000, seperti pernah
disinyalir Menteri Emil Salim.
Di Pulau Jawa sendiri, di mana program KB sudah mapan
pertumbuhan penduduk aneka ragam. Pertumbuhan DKI Jakarta
menurun dari 4,6% (1961-71) menjadi 4.0% (1971-80) tapi
agaknya bukan karena KB (lihat tabel). Maklum sendiri, Jakarta
belum pernah dipuji dalam soal perkabean. Malah ada yang
menyindir: kalah sama orang desa. Di luar Jakarta, pertumbuhan
Jawa Barat paling melejit. Mungkin ada faktor migrasi, tapi
selama ini jumlah akseptor KB mereka memang jauh di bawah Jawa
Tengah, apalagi Jawa Timur. Sejalan dengan itu, menurut ahli,
tingkat kelahiran Jawa Barat sejak sebelum zaman KB lebih tinggi
daripada daerah Jawa lainnya.
Pertumbuhan penduduk Jawa Tengah ternyata di situ-situ juga,
dahulu 1,7%, sekarang 1,7%. Daerah Istimewa Yogyakarta juga
demikian, dahulu 1,1%, sekarang 1,1%. Jawa Timur yang tersohor
(bersama Bali) dalam perkabean, cuma sedikit mengalami
perubahan, dari 1,6% menjadi 1,5%.
Apa makna angka-angka ini? Kita mendapat selisih, cuma itu.
Selisih tingkat kelahiran dan tingkat kematian, yang disebut
tingkat pertambahan penduduk. Tapi berapa tingkat kelahiran itu?
Bagaimana penurunan tingkat kelahiran itu? Berapa tingkat
kematian? Bagaimana penurunan tingkat kematian itu? Belum ada
yang mengetahui. Wallahualam bissawab. Data belum cukup
sekarang.
Adakah program KB tidak sesukses yang diperkirakan? Adakah
program KB dan program kesehatan sukses besar kedua-duanya?
Adakah program kesehatan lebih sukses daripada program KB?
Adakah tingkat kematian sudah menurun dengan cepat? Adakah
keadaan kesehatan sudah maju lantaran didukung oleh keadaan
gizi, sanitasi dan daya beli rakyat membaik dengan pesat? Kalau
kepingin silakan berspekulasi.
Dan persoalannya tidak berhenti di situ. Para ahli
memperhitungkan pula struktur umur, proporsi tak tercacah
(undercount), dan lain-lain. Teknik tinggi namanya.
Cuma satu yang sudah jelas. Mereka yang memperkirakan
pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,8%, termasuk Bank
Dunia, cukup jauh meleset.
Sungguh mati, Ji Sam Su bikin pusing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini