Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prospek pemilihan Wali Kota Surabaya bertambah suram. Gugurnya pasangan Rasiyo-Dhimam Abror membuat panggung makin kelabu. Inkumben Tri Rismaharini dan Wisnu Sakti Buana menjadi satu-satunya pasangan yang siap berlaga. Akibatnya, sesuai dengan peraturan, Surabaya terancam tak bisa melaksanakan pemilihan kepala daerah, Desember nanti.
Sejak awal, komitmen partai politik patut dipertanyakan. Bursa calon teramat sepi, hanya diramaikan pasangan Risma-Wisnu. Para politikus berkilah bahwa figur Risma terlalu kuat sehingga mereka memutuskan untuk sama sekali tak bertarung. Langkah ini sungguh tidak terpuji. Partai ogah menjalankan fungsinya. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003, partai wajib berperan dalam pendidikan politik, membangun partisipasi publik, dan rekrutmen jabatan publik melalui proses demokrasi.
Muncullah pasangan Dhimam Abror-Haries Purwoko, yang diusung Partai Demokrat dan Amanat Nasional, pada saat perpanjangan waktu pendaftaran. Namun, seperti drama televisi, menjelang disahkan, Haries raib. Pencalonan pun batal. Belakangan, PAN dan Demokrat kembali mengajukan duet Rasiyo-Dhimam Abror Djuraid.
Celakanya, drama terus berlanjut. Komisi Pemilihan Umum Daerah Surabaya memutuskan pasangan Rasiyo-Dhimam Abror gugur dengan dua alasan. Pertama, Dhimam Abror tidak menyertakan surat bebas tunggakan pajak. Kedua, surat rekomendasi PAN untuk Rasiyo diragukan keasliannya. Nomor surat rekomendasi dan nomor seri meterai tidak sesuai dengan versi elektronik yang sebelumnya telah dikirim.
Digugurkannya Rasiyo-Dhimam layak membuat kita bertanya kepada KPUD Surabaya: benarkah kedua alasan tersebut benar-benar mutlak? Surat bebas tunggakan pajak bukankah dengan mudah ditelusuri di kantor pajak? Partai Amanat Nasional juga menyatakan bahwa surat rekomendasi buat Rasiyo benar-benar asli. Perbedaan nomor surat dan nomor seri meterai toh bisa diperbaiki, asalkan ada garansi keaslian dari pimpinan partai. KPUD seharusnya tak mengutamakan prosedur administrasi semata. Hadirnya penantang inkumben yang sejatinya memang disodorkan partai jauh lebih penting.
Pertanyaan juga layak ditujukan kepada partai politik. Sungguh menggelikan jika partai sekaliber PAN tidak dilengkapi dengan sistem administrasi yang rapi. Kecurigaan pun terbit. Bukan mustahil cacat surat rekomendasi ini sengaja dilakukan untuk menjegal laju Risma-Wisnu. Dugaan ini bukan tak beralasan. Risma dikenal gigih menolak berbagai intervensi pejabat dan investor. Penundaan pilkada berakibat Surabaya harus dipimpin penjabat sementara sampai 2017. Walhasil, boleh jadi semua ini adalah manuver untuk memuluskan program-program yang selama ini ditentang Risma.
Untunglah masih ada kesempatan terakhir. KPUD Surabaya memperpanjang lagi masa pendaftaran pemilihan kepala daerah Surabaya hingga 8 September. Masih ada waktu bagi partai politik untuk mengajukan kandidat yang kompeten.
Kewajiban ini harus dipenuhi demi masa depan Surabaya dan tradisi politik yang baik. Iklim sehat demokrasi ini tak boleh dibunuh lewat polah culas elite partai politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini