Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pemerintah pusat dan daerah seharusnya bahu-membahu memerangi wabah Covid-19 yang semakin mengganas. Sayangnya, sikap sebagian menteri atas pemberlakuan kembali pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta justru menunjukkan hal sebaliknya. Mereka malah mempersoalkan keputusan pemerintah DKI dengan dalih bakal merugikan secara ekonomi.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengungkapkan beberapa indikator sebagai dasar penetapan PSBB mulai 14 September 2020. Salah satunya, angka rasio positif, yakni perbandingan kasus baru Covid-19 dan orang yang dites, mencapai 12,2 persen. Angka itu jauh di atas ambang batas aman versi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang sebesar 5 persen.
Indikator lain yang krusial adalah ketersediaan ruang rawat pasien Covid-19 yang semakin berkurang. Dari 4.053 tempat tidur di kamar isolasi khusus di Jakarta, yang tersisa hingga 6 September tinggal 23 persen. Ketersediaan tempat tidur di ruang rawat intensif atau ICU pun tinggal 17 persen. Pemerintah Jakarta memperkirakan ruang isolasi bakal penuh pada 17 September dan ICU tak bisa lagi menampung pasien baru pada 15 September. Tanpa PSBB, penuhnya ruang rawat bisa semakin cepat.
Merujuk pada data tersebut, sudah seharusnya pemerintah Jakarta memberlakukan kembali PSBB demi menekan laju pandemi. Mekanisme PSBB transisi yang lebih longgar terbukti mempercepat laju penularan Covid-19, karena pemerintah tak mampu mendisiplinkan warga untuk menjalankan protokol kesehatan. Munculnya kluster perkantoran, rumah ibadah, dan pasar adalah buah dari longgarnya pengawasan.
Seharusnya pemerintah sadar akan dampak yang lebih buruk jika mengedepankan pertimbangan ekonomi tapi mengesampingkan aspek kesehatan publik. Protes sejumlah menteri dengan dalih PSBB mengancam perekonomian menjadi indikasi bahwa mereka memilih untuk mempertaruhkan keselamatan publik. Sikap itu pun bertentangan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebutkan urusan kesehatan harus menjadi prioritas dan ditangani dengan baik sebelum membuka kembali perekonomian.
Dampak buruk PSBB terhadap perekonomian memang tak terhindarkan. Karena itu, pemerintah seharusnya menyiapkan solusi yang komprehensif. Bersiaplah memperbesar dan memperpanjang termin pengucuran bantuan sosial, terutama dalam bentuk tunai, sebagai pengganti hilangnya pendapatan masyarakat akibat pembatasan aktivitas ekonomi. Perbaiki pendataan dan skema penyalurannya agar bantuan tersebut tepat sasaran.
Sudah saatnya pemerintah pusat dan daerah lebih kompak serta serius memerangi pandemi. Akhiri pertentangan dalam merumuskan kebijakan. Penegakan protokol kesehatan harus menjadi prioritas, bersamaan dengan intensifnya pelacakan, pengujian, serta perawatan pasien Covid-19. Perbaiki penyaluran bantuan, demi meminimalkan dampak pembatasan sosial pada perekonomian.*
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo