Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUNDA Putri tak datang dari negeri dongeng. Dia muncul dari penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi ketika menyelidiki perkara suap pengaturan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian. Perempuan ini menggenapi rangkaian skandal ala sinetron tentang perselingkuhan pejabat, pengusaha, dan politikus partai, yang tak luput dari aneka bumbu asmara.
Nama aslinya Non Saputri. Dia menjadi "tokoh" setelah rekaman sadapan pembicaraannya diperdengarkan dalam sidang dengan terdakwa Ahmad Fathanah, Kamis dua pekan lalu. Bunda bukan kelas figuran dalam perkara suap ini. Di dalam rekaman, ia terdengar sangat berkuasa, misalnya ketika membicarakan rencana penggantian pejabat di Kementerian Pertanian.
Perannya juga bisa dilihat pada kejadian 30 Januari 2013 malam, sehari setelah Fathanah ditangkap di Hotel Le Meridien, Jakarta Pusat. Bunda menyuruh Luthfi Hasan Ishaaq—ketika itu Presiden Partai Keadilan Sejahtera—dan Ridwan Hakim, anak ketua majelis syura partai ini, datang ke rumahnya. Dia perlu menanyakan operasi komisi antikorupsi itu.
Rekaman pembicaraan lain mempertegas kuatnya posisi Bunda. Ia berbicara tentang rencana perombakan kabinet, juga menyebutkan agendanya bertemu dengan beberapa menteri. Setelah melakukan penelusuran, majalah ini menemukan kesesuaian antara ucapan Saputri dan kejadian di lapangan. Bagaimana perempuan ini bisa begitu digdaya?
Tokoh semacam Bunda ini lahir dari sistem ekonomi monopolistik. Pada 2010, pemerintah membatasi impor daging sapi dengan alasan program swasembada pangan, sekaligus memegang hak menunjuk importir dan menetapkan kuota. Sejak itulah kuota menjadi komoditas legit bagi pemburu rente. Fathanah dan Luthfi merupakan pemain penting "bisnis" ini. Mereka mengatur pertemuan dengan pengusaha, menetapkan upah pengaturan kuota, lalu mendekati pejabat Kementerian Pertanian—yang dipimpin politikus Partai Keadilan Sejahtera. Dalam perkara yang kini disidangkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Fathanah dan Luthfi diduga mematok Rp 40 miliar untuk pengaturan 8.000 ton jatah impor PT Indoguna Utama.
Karena penetapan kuota juga melibatkan Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kementerian Perdagangan, Fathanah dan Luthfi memerlukan jembatan lain untuk mengegolkan usaha mereka. Jembatan itu disediakan Saputri, yang memiliki jaringan lobi cukup kuat di kalangan petinggi pemerintah. Menyandang jabatan "penasihat internasional" perusahaan minyak Malaysia, Petronas, ia banyak bergaul dengan kalangan elite. Seorang menteri pernah menginap di rumahnya di Kuningan, Jawa Barat, pada akhir 2011.
Lebih dari itu, Saputri memiliki hubungan dekat dengan Hasanuddin Ibrahim, mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian dan kini Direktur Jenderal Hortikultura—sejumlah sumber menyebutkan keduanya menikah pada 2007. "Kekhususan" inilah yang membuat sang Bunda memiliki cukup pengaruh di kementerian itu. Dia ikut melancarkan permainan Fathanah dan Luthfi dalam pengaturan kuota impor daging.
Menyimak keterangan puluhan saksi yang telah didatangkan ke persidangan, pengaturan kuota impor daging benar-benar mengandalkan pengaruh Luthfi sebagai petinggi partai. Sang Presiden dan Fathanah biasa menghubungi pejabat kementerian, memanggil anggota staf menteri ke markas partai, juga memperoleh data impor untuk kepentingan mereka.
Posisi politik Luthfi juga digunakan Fathanah dalam proyek lain di Kementerian Pertanian. Keterangan saksi Denny Pramudia Adiningrat, misalnya, mengungkap bantuan mereka dalam memenangkan perusahaannya pada proyek benih jagung 2012. Menjawab pertanyaan hakim, pengusaha ini membenarkan peran Luthfi sebagai Presiden Partai Keadilan Sejahtera dalam mempengaÂruhi pejabat di Kementerian Pertanian.
Komisi Pemberantasan Korupsi seharusnya tidak berhenti pada Luthfi dan Fathanah. Bunda bisa menjadi jalan penting bagi investigasi lebih luas. Jejaringnya perlu dibuka, perannya dalam kuota daging perlu ditelusuri. Yang terpenting, jejak Bunda dalam proyek-proyek lain perlu ditelusuri.
Kemungkinan permainan ilegal dalam proyek lain bukan mustahil. Dokumen persidangan mengungkap pembahasan fee untuk Fathanah dalam pengadaan produk di Kementerian Pertanian dan kementerian lain. Bukan tak mungkin, permainan terjadi pada impor produk-produk hortikultura yang nilainya sangat besar—tahun lalu sekitar Rp 17 triliun.
Sembari menunggu putusan sidang Fathanah dan Luthfi, komisi antikorupsi bisa cepat bergerak. Non Saputri—juga Sengman Tjahja, yang disebut Ridwan Hakim sebagai "utusan Istana"—perlu segera dimintai keterangan. Tanpa investigasi lebih lanjut, sepak terjang Bunda Putri seakan-akan hanya pernah ada dalam dongeng.
berita terkait di halaman 32
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo