Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain membangkitkan kepahlawanan, krisis kerap memunculkan kisah para pencoleng. Berpura-pura mengulurkan tangan, mereka sebenarnya mengail untung di air keruh. Aparat penegak hukum harus tegas menghukum para bandit yang menipu kita di tengah masa sulit ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada awal April lalu, perusahaan produsen obat-obatan terkemuka Kimia Farma mendatangkan 300 ribu alat uji cepat (rapid test kit) dengan merek Biozek dari Belanda. Belakangan terungkap, alat uji itu bukan produk Eropa dan akurasinya pun diragukan. Perusahaan penjual alat ini diduga memalsukan keterangan serupa untuk memasarkan produknya di beberapa negara, termasuk Italia, Makedonia, dan Inggris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penelusuran konsorsium Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP)Tempo tergabung di dalamnyamenunjukkan bagaimana pemalsuan ini terjadi. Sertifikat validasi Biozek yang diklaim produsennya, Inzek International Trading BV, ternyata persis sama dengan sertifikasi sebuah perusahaan Cina: Hangzhou AllTest Biotech Co Ltd. Padahal, di situs perusahaannya dan dalam rilis yang disebarkan ke media massa, Inzek mengklaim Biozek sebagai produk Belanda.
Tak hanya asal produknya dipalsukan, validitas alat tes ini juga tak seperti yang dijanjikan. Dua riset independen di Inggris dan Spanyol menemukan bahwa klaim akurasi di atas 90 persen dari alat uji ini ternyata tak terbukti.
Nasi sudah menjadi bubur. Selain mengadukan perkara ini ke polisi, Kimia Farma sebaiknya segera menarik alat uji cepat virus corona ini dari berbagai pusat pelayanan kesehatan dalam jejaringnya. Sampai pekan lalu, produk abal-abal ini sudah didistribusikan ke setidaknya 14 provinsi.
Dampak dari peredaran alat uji cepat Covid-19 yang tidak akurat sungguh berbahaya. Pasien yang mendapat hasil tes keliru bisa melakukan hal-hal yang membahayakan jiwanya sendiri dan lingkungannya. Mereka yang sebenarnya tertular virus corona tapi ditetapkan negatif bisa saja menyebarkan penyakitnya ke mana-mana.
Sebaliknya, mereka yang sebenarnya sehat tapi diklaim positif corona akan memenuhi bangsal-bangsal perawatan di rumah sakit yang sudah makin kewalahan. Belum lagi dampak psikologis yang harus mereka derita karena kadung divonis mengidap penyakit mematikan.
Sejumlah peristiwa dalam dua bulan terakhir sudah menunjukkan indikasi ketidaktepatan hasil uji cepat Covid-19 semacam itu. Di Sukabumi, Jawa Barat, hasil tes atas 300 polisi di Sekolah Pembentukan Perwira Lembaga Pendidikan Polri, yang semula positif corona, ternyata berbalik. Hasil uji usap (swab test) yang dilakukan belakangan menunjukkan hanya 82 polisi yang positif.
Di Bogor, Jawa Barat, kesalahan pendeteksian terjadi dalam uji cepat terhadap 51 tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bogor pada 20 April lalu. Terakhir, di Banjar Serokadan, Desa Abuan, Bangli, 443 warganya diisolasi setelah dinyatakan positif corona. Belakangan, hasil uji usap di kedua kluster itu menunjukkan hasil yang bertolak belakang.
Ke depan, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dan Kementerian Kesehatan harus lebih teliti memeriksa kelayakan alat-alat kesehatan yang masuk negeri ini. Pengalaman Inggris bisa ditiru. Negara itu membatalkan pembelian 2 juta alat uji cepat Covid-19 asal Cina setelah menemukan ada masalah akurasi yang serius. Otoritas medis di Inggris rupanya meminta sejumlah ilmuwan dari Oxford University memeriksa alat kesehatan yang akan diimpor ke sana.
Sertifikasi alat kesehatan di kala krisis seperti sekarang mungkin terasa berlebihan. Namun tetap perlu standar kelayakan minimum agar keselamatan publik tidak menjadi korban. Jika tidak, publik akan kebingungan menentukan mana alat uji tes virus corona yang akurat dan mana yang tidak.
Keberadaan standar minimum itu kian mendesak karena sekarang makin banyak penyedia pelayanan kesehatan yang menawarkan fasilitas pengujian virus corona dengan harga bervariasi. Alat uji cepat yang digunakan pun sungguh beragam. Tanpa pengaturan dari otoritas medis, warga yang awam rawan tertipu tes abal-abal.
Mengambil keputusan yang tepat di kala keadaan demikian mendesak memang tidak mudah. Ketersediaan informasi yang valid menjadi kunci. Ketika sebuah kebijakan diambil secara terburu-buru tanpa data yang memadai, kesalahan amat mungkin terjadi. Karena itu, sekali lagi, transparansi menjadi sangat krusial. Tanpa itu, sulit menghasilkan kebijakan yang akuntabel. Peluang kita untuk selamat dari wabah Covid-19 ini pun bisa terus menyempit.