Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalau semua perkara korupsi perbankan harus dibongkar, tidak secara ”tebang pilih”, maka ba-nyak masalah lama harus diselidiki lagi. Baik perkara yang dibiarkan mengendap, atau yang belum ditangani dan dianggap tak bermasalah, maupun yang baru belakangan ketahuan me-ngandung unsur tindak pidana. Salah satunya adalah masalah yang berkait-an dengan bank Unibank.
Perkara itu berkenaan dengan soal bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), pelanggaran batas maksimum pemberian kredit, kredit macet, kemelut penyelesaiannya oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Banyak nama yang terlibat, dan terungkap adanya keterkaitan satu masalah dengan yang lainnya. Polisi dan kejaksaan, khususnya Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor), mulai sibuk mengumpulkan keterangan dan meneliti kembali potongan-potongan informasi yang menunjukkan berbagai kejanggalan yang mencurigakan.
Dari daftar masalah kredit macet di Bank Mandiri, terungkap soal kredit kepada PT Raja Garuda Mas, yang pemilik utamanya adalah Sukanto Tanoto. Penelusuran selanjutnya menunjukkan nama konglomerat kaliber internasional ini erat kaitannya dengan kepemilikan Unibank, yang kegiatan usahanya telah dibekukan oleh Bank Indonesia sejak Oktober 2001. Ketika dibekukan, Unibank masih menyisakan masalah yang belum selesai dengan Bank Indonesia (BI). Ada kemacetan pembayaran kewajiban kepada BI senilai triliunan rupiah yang hingga sekarang tak jelas ujung-pangkalnya lagi.
Nama Sukanto Tanoto, sekarang bermukim di Singapura, bukan saja dikaitkan dengan kredit di Bank Mandiri. Nama ini dan Unibank muncul kembali akhir-akhir ini karena masalah gugatan perusahaan Citra Marga Nusa-phala Persada (CMNP) kepada BPPN. Persoalannya berbelit memang, dan menyeret nama Hary Tanoesoedi-bjo, pemilik PT Bhakti Investama (baca, Mengupas Berkas Lawas, Tempo edisi 13-19 Februari 2006). CMNP, perusahaan pengelola jalan tol yang dulu dikenal dimiliki Tutut Soeharto, dengan perantaraan Bhakti Investama membeli sertifikat deposito Unibank seharga US$ 28 juta, tapi kemudian tak bisa dicairkan. Karena Unibank sudah dibekukan, gugatan ditujukan pada BPPN sebagai pengambil alih tanggung jawab.
Sertifikat deposito US$ 28 juta bukan uang kecil. Gugatan CMNP dimenangkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Juli 2004. Pemilik CMNP bukan cuma Tutut Soeharto, tapi di sana juga ada saham kepunyaan PT Jasa Marga dan PT Krakatau Steel, keduanya adalah badan usaha milik negara. Kerugian yang diderita berarti kerugian bagi negara. BPPN menolak menjamin pem-bayaran, karena sertifikat deposito yang dikeluarkan Unibank ternyata tak memenuhi syarat, atau melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Sertifikat deposito tersebut tak tercatat dalam laporan simpanan ber-jangka Unibank yang disampaikan ke BI.
Kerugian negara akibat tind-akan yang berlawanan dengan hukum tergolong sebagai tindakan koru-psi. Ma-salah Unibank lain sebelumnya yang merugikan BI adalah soal wesel ekspor berjangka, yang tidak dapat dilunasi pada saat jatuh tempo. Terakhir berjumlah US$ 230 juta. Di dalamnya juga terdapat penyimpangan, karena kredit yang dikeluarkan menyangkut perusahaan dalam grup Sukanto Tanoto juga. Unibank adalah perusahaan terbuka, dan sebagai bank selalu di bawah pengawasan BI. Bagaimana pelanggaran seperti itu terjadi tanpa pencegahan dan koreksi, tidak gampang bisa dipahami.
Yang terlibat langsung atau tak langsung dalam kompleksitas masalah Unibank ini mungkin menjangkau lingkup yang cukup luas. Sukanto Tanoto dan Hary Tanoesoedibjo adalah pengusaha besar yang punya banyak koneksi di kalangan atas. Menanganinya tidak mudah. Usaha yang dilakukan polisi, kejaksaan, Komite Pemberantasan Korupsi, Timtas Tipikor, terasa ditujukan ke arah itu. Sebaliknya, usaha yang tidak terkoordinasi antara badan-badan tersebut bisa lebih membuat ruwet pemecahannya.
Yang juga harus dijaga ialah agar para pihak tidak saling melempar tanggung jawab kesalahan. Kelompok Sukanto Tanoto dan Hary Tanoesoedibjo bisa saja menganggap bahwa pembongkaran masalah Unibank ini adalah usaha mencemarkan nama baik mereka sebagai pengusaha. Padahal sesungguhnya yang diusahakan ialah supaya uang negara dikembalikan sebanyak-banyaknya, maupun agar semua yang diduga bersalah diperiksa dan diadili.
Hampir tak bisa disangkal adanya prasangka bahwa di balik kekayaan, selalu ada kejahatan. Bukan sekadar karena orang kaya raya maka dikejar, tapi perbuatan jahatnya. Jangan sampai negara tinggal termangu memegang karung kosong, yang isinya dibocorkan pengusaha lihai dan pejabat yang korup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo