Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Domein Verklaring: Perampasan Tanah ala Pemerintah Kolonial di IKN

Perampasan tanah warga oleh Otorita IKN serupa dengan pemerintah kolonial Belanda. Menghidupkan lagi domein verklaring.

26 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ISTILAH domein verklaring kembali mencuat dalam dua pekan ini setelah Otorita Ibu Kota Negara Nusantara (Otorita IKN) menerbitkan surat ultimatum bagi 200 warga di Rukun Tetangga 05, Kelurahan Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Surat tertanggal 4 Maret 2024 yang ditandatangani Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Thomas Umbu Pati itu menyebutkan bahwa tempat tinggal warga tersebut ilegal sehingga harus dirobohkan dalam waktu tujuh hari. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mendapat sorotan dari berbagai kalangan, Otorita IKN buru-buru mencabut surat tersebut. Namun, hanya berselang sepekan, giliran Badan Bank Tanah RI yang menebar ancaman serupa. Kali ini melalui surat yang ditandatangani Project Team Leader Moh. Syafran Zamzami tertanggal 18 Maret 2024. Surat itu ditujukan kepada 30 warga di lima kelurahan: Riko, Pantai Lango, Gersik, dan Jenebora di Kecamatan Penajam serta Maridan di Kecamatan Sepaku yang diklaim menempati lahan hak pengelolaan Badan Bank Tanah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi ahli hukum tata negara Universitas Mulawarman, Samarinda, Herdiansyah Hamzah, tindakan pemerintah merampas tanah masyarakat untuk mengebut pembangunan proyek strategis nasional Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara ini merupakan praktik eksploitatif kolonialisme. “Jelas cara pandang domein verklaring kolonialisme digunakan oleh pemerintah dalam kasus pembangunan IKN,” ucap pria yang disapa Castro itu pada Senin, 25 Maret 2024. Praktik ini sangat mudah dibuktikan dengan begitu masif dan cepatnya pembangunan di IKN.

Menurut Castro, pemerintah memakai paradigma seolah-olah bumi IKN yang terhampar seluas 252.600 hektare itu merupakan ruang kosong tanpa adanya masyarakat lokal. Herdiansyah mengatakan Peraturan Presiden soal Rencana Tata Ruang Kawasan IKN Tahun 2022 tidak bisa dijadikan dalih untuk mengusir warga dengan alasan bangunan mereka tidak sesuai dengan rencana pembangunan IKN. “Bukankah warga lebih dulu ada di situ? Apalagi rencana tata ruang itu tidak melibatkan partisipasi warga.”

Lokasi pembangunan ibu kota baru Indonesia, Nusantara di Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, 8 Maret 2023. EPA-EFE/MAST IRHAM

Paradigma domein verklaring diberlakukan pemerintah kolonial Belanda di atas tanah jajahannya, Hindia Belanda (kini Indonesia), satu setengah abad lampau. Tujuannya mengambil alih tanah rakyat secara paksa untuk mendorong peningkatan investasi swasta dari Eropa di sektor perkebunan. Perampasan tanah itu mendapat legitimasi melalui penerbitan Undang-Undang Agraria atau Agrarische Wet pada 1870.

Perampasan lahan warga itu dilakukan dengan dalih tanah telantar atau prinsip domein verklaring. Sebuah istilah yang merujuk pada bahasa Belanda yang berarti “pernyataan pemilik” atau siapa saja yang tidak mampu membuktikan tanahnya, tanah tersebut menjadi domain negara. Setelah berhasil direbut, pemerintah kolonial menjual atau menyewakan tanah tersebut kepada pihak swasta.

Reformasi hukum baru dilakukan ketika Presiden Sukarno membentuk Panitia Agraria Yogyakarta pada 12 Mei 1948. Tim tersebut bertugas mengganti hukum agraria kolonial dan menentukan arah kebijakan politik agraria negara. Hingga kemudian terbit Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Di dalamnya diatur soal penghapusan praktik eksploitatif pemerintah kolonial.

Kini, justru Badan Bank Tanah menghidupkan kembali perilaku penjajah tersebut. Badan Bank Tanah mendaku memiliki hak atas tanah seluas 4.162 hektare di kawasan IKN itu. Mereka mengultimatum warga menggusur segala bangunan, termasuk tanaman milik warga. Jika peringatan ini tak diindahkan warga, Bank Tanah akan menganggap sebagai penggunaan tanah tanpa izin dan bakal mengenakan sanksi sesuai dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya.

Lima desa yang tergusur itu rencananya dibangun Bandar Udara Very-very Important Person (VVIP) IKN. Lokasinya berjarak sekitar 23 kilometer dari Titik Nol Ibu Kota Nusantara. Bandara itu berada di atas lahan yang didiami warga seluas 347 hektare. Mulai digarap pada November 2023, bandara VVIP diharapkan rampung dan mulai beroperasi pada Juli mendatang. Bahkan operasional penuh bandara VVIP itu ditargetkan pada Desember 2024.

Pemimpin masyarakat Adat Balik, Sibukdin, berpose di dalam rumahnya di Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Indonesia, 8 Maret 2023. EPA-EFE/MAST IRHAM

Masalah muncul ketika warga yang mengklaim memiliki lahan di wilayah itu tidak mendapat pembayaran ganti rugi. Terutama warga yang tidak memiliki sertifikat hak milik yang sudah mendiami tanah itu selama puluhan tahun. Beberapa warga yang diwawancarai Tempo menceritakan bahwa OIKN hanya membayar atas tanaman yang ditumbangkan. Persoalan lain, nilai ganti rugi atas tanah bersertifikat juga dirasa terlalu murah.

Petani sekaligus pemilik tanah sempat berembuk melalui Kelompok Petani Saloloang untuk mencari jalan keluar. Namun, pada Sabtu, 24 Februari lalu, polisi mencokok sembilan petani yang sedang makan malam bersama di Toko Benuo Taka, Desa Pantai Lango. Polisi menuduh warga telah mengancam pekerja proyek pembangunan bandara. Meski akhirnya dibebaskan, sembilan warga itu digunduli di tahanan Kepolisian Daerah Kalimantan Timur. 

Konflik lahan di Ibu Kota Nusantara meletup ketika Otorita IKN tengah mengebut pembangunan pelbagai proyek infrastruktur. Prioritas pembangunan IKN saat ini berada di wilayah perencanaan kawasan inti pusat pemerintahan (WPKIPP) seluas 6.671 hektare. Pembangunan yang masif ini lantaran pemerintah mengejar target menghelat upacara peringatan kemerdekaan pada 17 Agustus 2024 di ibu kota negara yang baru itu.

Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur Mareta Sari menyebutkan penggusuran dan pengusiran paksa yang dilakukan Otorita IKN telah memperlihatkan wajah pemerintah yang mencontoh kolonial Belanda. “Pemaksaan pembongkaran bangunan dan pengusiran masyarakat dengan dalih tidak berizin dan tidak sesuai dengan tata ruang adalah cara-cara penjajah dalam merampas tanah rakyat.”

Menurut dia, cara-cara yang dilakukan pemerintah merupakan bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Pokok Agraria. Juga terhadap Pasal 65 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam dua regulasi itu diatur penataan ruang yang melibatkan masyarakat lokal dan masyarakat adat. Mareta bersama 16 organisasi masyarakat sipil lantas mengecam cara-cara pemerintah ini.

Pekerja menyelesaikan pembangunan di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) Ibu Kota Nusantara (IKN), Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, 12 Februari 2024. ANTARA/ Rivan Awal Lingga

Peneliti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur Dede Wahyudi melihat cara-cara penguasaan lahan yang dilakukan pemerintah merupakan bentuk genosida terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Sama seperti kolonialisme—alih-alih menjamin pelindungan hak masyarakat adat—pemerintah justru merampas tanah untuk melayani investor yang masuk IKN. “Yang paling ditonjolkan oleh pemerintah adalah bagaimana melayani investor masuk,” ucapnya.

Deputi Bidang Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Otorita IKN Myrna Asnawati Safitri membantah tuduhan bahwa pemerintah sedang menggunakan cara-cara kolonial Belanda untuk membangun IKN. “Saya kira tidak, ya. Tidak ada keinginan sedikit pun untuk kembali menerapkan domein verklaring,” katanya ketika dimintai konfirmasi.

Menurut dia, justru negara tengah berupaya agar tanah-tanah yang dikuasai semata-mata untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dia menekankan bahwa memang situasi di lapangan tidak sederhana. Kata Myrna, di beberapa tempat, proses ganti rugi hanya dilakukan terhadap tanaman milik warga tanpa disertai pembayaran tanah. Hal itu lantaran status tanah tersebut sebagai barang milik negara. “Kami tidak bisa memberi ganti rugi atas tanah yang statusnya milik negara.”

Myrna juga menjelaskan ihwal tanah bersertifikat yang dibeli dengan harga murah. Kata dia, pembelian dilakukan sesuai dengan harga pasar. Meski demikian, Otorita IKN, kata dia, terus mengkaji untuk memberi jalan keluar yang terbaik bagi masyarakat. Misalnya bakal membuka lapangan kerja yang bisa memperbaiki ekonomi masyarakat. Tujuannya untuk menjamin warga di IKN tidak dirugikan ketika lahannya digunakan untuk membangun ibu kota.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus